Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat

Share:

Jakarta (ANTARA News) - 27 Mei 2005, Daniel Estulin, seorang penulis keturunan Rusia yang menginvestigasi keberadaan Paguyuban Bilderberg menulis, bahwa konfrontasi politik Indonesia dan Malaysia di kawasan kaya minyak di Laut Sulawesi menjadi topik diskusi utama anggota Bilderberg dalam satu pertemuannya pada 2005.

Bilderberg adalah kumpulan orang-orang paling berkuasa di dunia yang misterius namun ditengarai sangat menentukan arah kecenderungan internasional. Mereka diantaranya para birokrat, industrialis dan bankir.

Diantara anggota Bilderberg yang menghadiri Konferensi 2005 --konon diadakan tiap tahun-- adalah pimpinan British Petroleum (BP) Peter D. Sutherland dan bos Royal Dutch Shell Jeroen van der Veer.

Mengutip Estulin, semua orang di Paguyuban paham bahwa perang akan memberi landasan bagi hadirnya pasukan pemelihara perdamaian PBB sehingga eksploitasi energi di Ambalat bisa mereka kontrol.

Estulin mungkin provokatif, namun fakta menunjukkan ancaman pecahnya konfrontasi terbuka antara Indonesia dan Malaysia di Ambalat memang kian besar.

Suhu konflik memanas hingga mencapai titik ekstrem pada 2005 dan paruh pertama tahun ini. Itu semua beriringan dengan kesepakatan eksplorasi minyak dengan para raksasa tambang minyak di perairan yang diklaim memiliki cadangan minyak 2 miliar barel dan 3-5 triliun kubik gas alam cair (LNG) itu.

Sikap Malaysia sendiri mengeras setelah gugatan mereka di Sipadan dan Ligitan dimenangkan Mahkamah Internasional pada 2002 yang membuat batas lautnya memanjang hingga cukup untuk mengklaim Ambalat, termasuk Blok XYZ yang berlimpah ruah gas.

108 tahun lalu, pada 1891, Inggris dan Belanda yang menguasai Kalimantan, menetapkan garis paralel 4 derajat 10 menit Lintang Utara sebagai batas administrasi kolonial mereka.

Pulau Sipadan dan Ligitan yang hanya sekian menit derajat dari garis batas kolonial itu menjadi milik Indonesia meskipun secara geografis lebih dekat ke pantai Malaysia.

Pada 1979, Malaysia resmi mengklaim kedua pulau sebagai teritorinya, namun baru 23 tahun kemudian, pada 2002, Malaysia resmi memilikinya.

Sukses di kedua pulau ini ternyata membuat Malaysia "pede." Tiga tahun setelah itu, pada 16 Februari 2005, Malaysia memberi konsesi penambangan minyak di Blok Ambalat, kepada Royal Dutch Shell dan Petronas.

Seolah mengaplikasikan doktrin penguasaan laut dari pakar strategi perang Alfred Thayer Mahan yang dianut banyak rezim maritim dunia, Indonesia bereaksi keras terhadap langkah Malaysia itu dengan segera menggelar armada perang di Ambalat sebagai simbol kedaulatan RI di wilayah itu.

Dalam "The Influence of Sea Power Upon History," Mahan menyebut penguasaan maritim oleh angkatan laut adalah kunci sukses dalam politik internasional.

Penguasaan laut ini sebagai pilar bagi operasi kebijakan di darat (diplomasi dan militer) dan simbol penjagaan atas asset maritim dengan menghentikan manuver lawan di wilayah itu. Intinya, penggelaran kekuatan laut adalah deterens (pencegahan) terhadap musuh yang hendak memasuki area internasional yang disengketakan.

Ironisnya, Malaysia juga mengaplikasikan pendekatan serupa. Kedua negara pun berlomba meyakinkan dunia mengenai siapa yang berkuasa di Ambalat.

Masalahnya, Malaysia akan amat sulit mendapatkan Ambalat ketimbang saat memperoleh Sipadan dan Ligitan tujuh tahun silam.

Bukan saja kedua negara mengadopsi pendekatan hukum internasional yang berbeda sehingga diplomasi menjadi amat alot, namun juga menghadapi Indonesia yang lebih militan dan "all out" di Ambalat, disamping juga lebih siap landasan hukumnya.

Operasi bersama

Spekulasi kemudian berkembang bahwa ekspedisi militer Malaysia di perairan Ambalat lebih ditujukan untuk memaksa Indonesia berbagi pengusahaan energi di blok itu, sebuah opsi yang sukses diterapkan Malaysia terhadap Thailand dalam sengketa Teluk Thailand.

Namun, solusi di Ambalat lebih sulit diambil karena blok kaya minyak itu telah diberikan kepada banyak perusahaan minyak. Celakanya bagi Malaysia, jauh-jauh hari Indonesia menolak opsi operasi bersama (joint operation) karena RI yakin 100 persen bahwa Ambalat, apalagi Blok XYZ , adalah wilayahnya.

Cerita berkembang ke sejarah ekslorasi minyak di daerah itu. Tanggal 8 Maret 2005, Straits Times mewartakan, pada 1960an Indonesia memberi konsesi minyak di Laut Sulawesi ke beberapa perusahaan minyak, termasuk Shell dan Chevron.

Pada 1999, Shell menandatangani kontrak bagi-produksi dengan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan akses ke Ambalat namun pada 2001 konsesi ini dijual ke perusahaan tambang Italia, ENI SpA, sebelum kemudian ditemukan cadangan minyak berlimpah di Ambalat.

Pada 2005, tiga tahun setelah Malaysia mendapatkan Sipadan dan Ligitan, Shell masuk lagi ke Ambalat melalui pintu Malaysia. Indonesia seketika geram dengan ulah Shell ini.

Pengamat perminyakan Kurtubi, dalam wawancara dengan Radio Netherland empat tahun silam, menuding Shell berbuat curang, keluar dari Ambalat dengan menjual konsesi ke ENI SpA, tetapi masuk lagi melalui Malaysia.

Tuduhan tak kalah keras keluar dari Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi Direktorat Jenderal Migas Novian Thaib, (Kompas 9 Maret 2005), bahwa perusahaan minyak patungan Inggris-Belanda ini telah memakai data migas Blok Ambalat tanpa seizin pemerintah Indonesia. Shell melakukan itu saat mendapat hak eksplorasi Blok Ambalat pada 1999.

Sebelumnya, pada 21 Februari 2005, Departemen Luar Negeri RI mengingatkan Shell karena menerima konsesi dari Malaysia.

"Kami katakan kepada Shell bahwa kami (Indonesia) akan melakukan langkah `firm` (keras) terhadap kegiatan apapun yang dilakukan Shell di perairan kita," kata Arif Havas Oegroseno, yang kini Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri (Gatra, Maret 2005).

Ironisnya, Malaysia memberikan konsesi kepada Shell setelah BP Migas memberi rekomendasi serupa kepada Unocal Corp --yang merger dengan Chevron pada Agustus 2005-- bagi eksplorasi LNG di blok yang sama.

Shell menjawab surat Deplu bahwa mereka berjanji memerhatikan secara serius keinginan pemerintah Indonesia. Sengketa Indonesia-Malaysia pun perlahan reda, kedua negara sepakat menyelesaikan sengketa lewat mediasi internasional.

Tak dinyana, setelah Indonesia merekomendasi perpanjangan kontrak Chevron dan hak eksplorasi ENI di Ambalat tahun ini, Malaysia memobilisasi militernya di Ambalat hingga jauh memasuki teritori Indonesia.

Diplomasi

Sengketa pun mencapai babak terpanasnya. Deru dan gemerincing mesin perang seolah telah mengecilkan volume suara diplomasi.

Sejumlah pakar menyebut manuver Malaysia di Ambalat sebagai intimidasi terhadap ENI agar jangan melakukan kegiatan penambangan apapun di Ambalat sampai kesepakatan internasional dicapai. Malaysia tidak mengutakatik Chevron-Unocal karena menambang di teritori aman Indonesia.

Sejumlah lainnya berpendapat Malaysia sedang memaksa Indonesia untuk mengupayakan pengusahaan bersama di Ambalat seperti dilakukannya di Teluk Thailand kepada Thailand.

Untungnya, kedua negara berulangkali ingin menyelesaikan persoalan lewat dialog dan diplomasi, bahkan ini disampaikan para hulubalang tertinggi militer kedua negara. Panglima TNI dan Angkatan Tentera Malaysia malah kerap bertemu secara reguler.

Mungkin karena kedua negara sebenarnya tahu risiko perang lebih merugikan kedua negara dan merusak pencapaian kedua bangsa di beberapa tahun terakhir. Mungkin juga kedua negara tak ingin terjerembab dalam skenario pihak lain di Ambalat.

Seperti dikutip Kompas (17/4, 2009), seorang promotor normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia pascakonfrontasi 1960an, Des Alwi, mengingatkan kedua negara mengenai "politik adu domba" gaya baru prokapitalisme global di Ambalat.

Des menilai, sengketa perbatasan di kawasan kaya minyak dan terumbu karang itu nyaris menimbulkan perang karena ulah satu negara Eropa yang membawa kepentingan satu perusahaan raksasa minyak yang ingin mendapatkan konsesi Ambalat.

Jika itu benar, alangkah ruginya kedua negara masuk dalam perangkap perang yang justru bukan kemauan mereka. Merugi pula, reaksi dan mobilisasi massa berlebihan yang malah membuat senang pihak ketiga yang tak peduli Ambalat diselesaikan oleh semburan meriam.

Perang Iran-Irak yang bermula dari sengketa Shatt al Arab dan banyak konflik dunia yang dibakar oleh persaingan eksploitasi energi, mengajarkan pada manusia bahwa diplomasi dan perundingan tetaplah solusi paling pantas untuk sengketa antarbangsa.

Jepang, China dan Rusia yang bersengketa satu sama lain dalam soal perbatasan, juga selalu menyelesaikan krisis dengan dialog dan diplomasi, kendati militer ketiga negara selalu siaga berperang.

Perlu juga dicatat bahwa diplomasi efektif di wilayah sengketa tetap membutuhkan penghadiran kekuatan militer, namun ini hanya untuk deterens. Tanpa demonstrasi kekuatan militer, ofensif diplomatik di wilayah sengketa akan bagaikan "suara tanpa wujud."

Take from : http://www.antaranews.com