Menjaga Kemurnian Suara Rakyat

Share:
Setelah bekerja keras memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2009, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menyelesaikan tugas konstitusionalnya pada 24 Juni 2009, tepat 30 hari kerja sejak proses registrasi perkara.

Perkara yang diterima oleh MK sebanyak 69 perkara yang diajukan oleh 42 partai politik peserta Pemilu dan 27 perkara yang diajukan calon anggota DPD. Perkara yang diajukan oleh 42 partai politik tersebut meliputi 615 kasus, yaitu obyek PHPU di daerah pemilihan tertentu yang memengaruhi perolehan kursi, baik DPR maupun DPRD.

Adapun untuk PHPU DPD, terdapat 28 calon anggota yang mengajukan perselisihan hasil ke MK, tetapi terdapat dua perkara yang disatukan karena dari provinsi yang sama. Apabila dilihat dari daerah pemilihan yang diperselisihkan oleh calon anggota DPD, yaitu dengan basis kabupaten/kota, jumlah kasus untuk PHPU DPD adalah 107 kasus.

Karena dalam satu permohonan perkara terdiri atas banyak kasus yang dimohonkan, putusan MK memiliki amar putusan untuk setiap kasus yang berbeda-beda. Dari keseluruhan kasus yang diajukan oleh partai politik, terdapat 62 kasus yang dikabulkan, 5 kasus dinyatakan harus dilakukan penghitungan suara ulang, dan 4 kasus dinyatakan harus dilakukan pemungutan suara ulang. Untuk DPD, 2 perkara dinyatakan dikabulkan, 1 perkara dinyatakan harus dihitung ulang, dan 1 perkara harus dilakukan pemungutan suara ulang. ***

UU MK dan UU Pemilu menentukan bahwa obyek sengketa PHPU legislatif adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan KPU yang memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Hal itu menunjukkan bahwa yang dipersengketakan adalah jumlah angka hasil penghitungan perolehan suara apabila terjadi antara penghitungan KPU dengan penghitungan peserta pemilu.

Meski demikian, "jumlah angka" hasil pemilu bukan merupakan hal yang sepele dan proses pemeriksaan persidangan tidak bisa dilakukan sekadar menggunakan kalkulator untuk memperoleh jumlah angka yang benar. Angka hasil pemilu merupakan representasi suara rakyat. Satu suara dalam pemilu mewakili satu suara rakyat yang berdaulat.

Oleh karena itu, angka tersebut harus diperoleh dengan cara yang benar sebelum pelaksanaan pemungutan suara sehingga setiap satu suara benar-benar mewakili aspirasi dan pilihan seorang pemilih yang berdaulat. Angka jumlah suara itu akan ditransformasikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu dan diisi oleh calon wakil rakyat yang dinyatakan sebagai calon terpilih.

Pilihan rakyat telah diberikan pada saat pemungutan suara. Pilihan itu adalah amanat yang harus dijaga kemurniannya walaupun mungkin pada akhirnya tidak mencukupi untuk dapat ditransformasikan menjadi perolehan kursi ataupun tidak mencukupi untuk menentukan seseorang menjadi calon terpilih.

Menjaga kemurnian suara rakyat inilah yang menjadi tugas MK dalam memutus sengketa PHPU, yaitu memastikan bahwa hasil pemilu diperoleh dengan cara yang benar serta benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat pada saat pemungutan suara. Mekanisme tersebut sangat penting artinya dalam upaya membangun dan menjaga berjalannya sistem demokrasi, yang tidak hanya prosedural tetapi juga substansial.

Pemilu adalah prosedur demokrasi yang harus dijalankan untuk membentuk pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Adapun substansi dalam prosedur tersebut adalah penyampaian pilihan rakyat untuk menentukan partai mana dan calon mana yang akan mewakilinya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Oleh karena itu, jika angka sebagai jumlah pilihan rakyat tidak diperoleh dengan cara yang benar, pemerintahan yang terbentuk juga tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis.Pemilu hanya menjadi legitimasi bagi kekuasaan, bukan substansi pembentukan kekuasaan negara. ***

Keseluruhan putusan MK dalam perkara PHPU adalah untuk menjaga dan memurnikan suara rakyat. Putusan MK dapat menyatakan permohonan tidak dapat diterima, ditolak, atau dikabulkan. Dari keseluruhan perkara yang telah diputus, terdapat beberapa permohonan yang dikabulkan. Hal itu berarti terdapat kesalahan penghitungan hasil pemilu yang ditetapkan oleh penyelenggara.

Kesalahan tersebut dapat berupa kesalahan penjumlahan angka-angka, terjadinya penggelembungan dan pengurangan suara yang memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, dan terjadinya penyelenggaraan pemilu, terutama saat pemungutan yang diikuti dengan penghitungan dan rekapitulasi, yang tidak sesuai dengan ketentuan yang menjamin diterapkannya prinsip jujur dan adil.

Kesalahan-kesalahan tersebut mengakibatkan jumlah angka hasil pemilu tidak seluruhnya mencerminkan pilihan rakyat sehingga harus dimurnikan kembali. Jika dilihat dari sisi substansi, putusan MK yang mengabulkan permohonan pemohon berperan memurnikan suara rakyat melalui tiga cara. Pertama, adalah putusan yang mengabulkan permohonan karena terjadinya kesalahan penghitungan atau terjadinya penggelembungan dan pengurangan suara.

Amar putusan ini juga membatalkan Keputusan KPU tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu sepanjang terkait dengan kasus yang diputus serta menetapkan perolehan suara pemohon yang benar.

Walaupun pemohon selalu membuat penghitungan sendiri dan memohon hasil penghitungan tersebut diputuskan sebagai penghitungan yang benar, MK selalu melakukan penghitungan sendiri melalui pemeriksaan alat bukti dan menetapkan sendiri hasil penghitungan yang benar.

Kedua, beberapa putusan MK memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang atau penghitungan suara ulang di daerah pemilihan tertentu. Pemungutan suara ulang harus dilaksanakan jika pemungutan suara yang dilakukan pada 9 April di daerah tersebut tidak mencerminkan pelaksanaan asas konstitusional pemilu, yaitu luber dan jurdil.

Akibatnya, suara yang dihitung dan dijumlahkan menjadi hasil pemilu tidak benar-benar mencerminkan pilihan rakyat sehingga harus diulang untuk memurnikan suara itu. Demikian pula halnya dengan putusan yang memerintahkan penghitungan ulang adalah karena proses penghitungan dan rekapitulasi tidak dilakukan secara jujur dan adil sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang- undangan.

Dengan demikian, putusan yang memerintahkan pemungutan atau penghitungan suara ulang adalah untuk memurnikan suara rakyat dari pelanggaran yang meluas dan terstruktur yang dapat memanipulasi proses demokrasi dan mencederai suara rakyat. Ketiga, dalam PHPU Legislatif 2009, salah satu putusan MK juga menentukan cara penghitungan yang benar untuk proses penghitungan tahap ketiga di provinsi sesuai dengan ketentuan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2008.

Putusan tersebut merupakan putusan permohonan dari beberapa partai politik dalam lingkup perkara PHPU berupa perselisihan yang terjadi karena perbedaan penafsiran antara KPU dengan peserta pemilu. Untuk dapat memutus perkara tersebut, MK harus terlebih dahulu menetapkan cara penghitungan yang benar berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008, yang tentu saja berlaku umum untuk semua penghitungan tahap ketiga.

Pada putusan tersebut, ditegaskan bahwa MK tidak mengadili atau menguji peraturan KPU tentang tata cara penetapan perolehan kursi. MK hanya menetapkan pelaksanaan ketentuan Pasal 205 UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai sumber hukum bagi MK dalam memeriksa dan memutus perkara. Kalaupun dalam peraturan KPU terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki, hal itu merupakan bentuk pelaksanaan dan akibat hukum dari putusan MK tersebut.***

Keberhasilan MK menjalankan wewenang konstitusional memutus sengketa PHPU tentu berkat kerja keras berbagai pihak, yaitu segenap jajaran MK serta pihak-pihak yang terkait. Sesuai dengan sifat putusan MK yang final dan mengikat, semua pihak tentu akan melaksanakan seluruh putusan MK.

Di sisi lain, dari proses persidangan juga mengemuka berbagai hal yang selayaknya menjadi bahan masukan bagi perbaikan pelaksanaan pemilu di masa yang akan datang, baik penyelenggara, pengawas maupun peserta pemilu. Itu semua semata-mata untuk meningkatkan kualitas demokrasi.(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi