Pandangan Tentang Penyelesaian Masalah Ambalat

Share:

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen TNI (Purn), mantan Gubernur Lemhanas

Ada beberapa faktor yang menjadi sumber masalah berkaitan dengan persoalan Ambalat akhir-akhir ini:

Faktor psikologis. Keberhasilan Malaysia dalam membangun negaranya, termasuk ekonominya, menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan sampai dapat dikategorikan sikap arrogant. Akibatnya adalah menyepelekan pihak lain yang dianggapnya kurang berhasil dan sedang menghadapi banyak persoalan, seperti Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika Malaysia tidak pernah membicarakan masalah ini secara serieus kepada Indonesia, padahal dua-duanya anggota ASEAN. Juga pembuatan peta tentang wilayah perbatasan secara unilateral adalah bukti arrogansi itu.

Faktor ekonomi. Perusahaan minyak Shell berkepentingan mendapatkan konsesi di Ambalat yang dapat mempengaruhi perusahaan Petronas bertindak sepihak. Ini juga kepentingan Malaysia untuk peningkatan ekonominya.

Faktor militer. Malaysia mengira bahwa kekuatan militernya, khususnya kekuatan angkatan laut dan angkatan udara, memadai untuk mendukung memaksakan fait accompli seperti yang telah dilakukan dulu dengan Sipadan dan Ligitan. Perkiraan ini timbul karena pengaruh faktor psikologi (arrogansi) dalam menilai kemampuan militer Indonesia.

Faktor politik. Malaysia melihat bahwa Indonesia sedang sibuk menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri, sehingga dinilai tidak cukup kemampuan menghadapi masalah ini secara sungguh-sungguh. Itu dapat dilihat pada sikap dan ucapan Menlu Malaysia bahwa buat Malaysia tidak ada masalah negosiasi dan ia datang ke Jakarta hanya untuk menyampaikan pendapat Malaysia.

Sikap kita
Dalam media dapat kita baca bagaimana reaksi masyarakat Indonesia pada umumnya. Secara umum orang menilai Malaysia arogan, hal ini diperkuat dengan tindakannya yang keras terhadap TKI illegal.

Banyak orang menjadi emosional dan dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk memperoleh manfaat dengan membakar emosi itu menjadi perbuatan yang tidak bermanfaat bagi Indonesia, bahkan dapat merugikan.

Berkembang semangat untuk menjadi relawan dalam menghadapi masalah ini. Hal ini tidak merugikan asalkan dapat diarahkan ke perbuatan yang berguna bagi penyelesaian masalah.

Kalangan cendekiawan terbagi dalam mereka yang seperti biasa menyalahkan Indonesia dan mereka yang mau melawan Malaysia. Yang menyalahkan, sekalipun amat terbatas jumlahnya, menghendaki penyelesaian secara diplomasi dan kalau perlu ke ICJ. Yang mau melawan mendorong agar Indonesia berperang dengan Malaysia, tetapi kemudian secara sinis mempertanyakan apakah TNI dapat memenangkan perang mengingat berbagai keterbatasannya.

Jadi di mata kebanyakan orang, termasuk cendekiawan, penyelesaian hanya diplomasi (damai) atau perang. Pandangan demikian sudah ketinggalan zaman. Sejak akhir Perang Dunia II umat manusia dan dunia diliputi oleh keadaan bukan perang tapi juga bukan damai (no war no peace) sampai Perang Dingin selesai.

Buat Indonesia diplomasi memang harus terus diadakan, tetapi bukan diplomasi yang mencari Win-Win Solution. Sebab dengan penyelesaian seperti itu kita akan harus mengorbankan sebagian kedaulatan kita. Diplomasi kita hanya untuk menyatakan pendapat dan kepentingan kita yang tidak dapat dikurangi lagi, sehingga kedaulatan tidak akan pernah dikurangi.

Jadi menuju ICJ adalah sikap salah, baik dilihat dari sudut taktik maupun strategi. Karena yang berkepentingan di pihak Malaysia tidak hanya dia, tetapi juga Shell yang Inggris-Belanda, maka ICJ yang berada di Den Haag, Belanda, amat mungkin mereka pengaruhi. Selain itu Malaysia ada dalam Five Powers Defense Arrangement (FPDA) dengan Inggris, Australia, Selandia Baru dan Singapura, sehingga jelas kepentingan Inggris di pihak Malaysia. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan Wakil PM Malaysia, Najib Razak, ke Inggris antara lain untuk membeli kapal perang dan senjata lainnya.

Jadi diplomasi Indonesia adalah hanya untuk menunjukkan kepada dunia internasional, khususnya AS, bahwa Indonesia tidak mau perang. Akan tetapi sikap itu harus diperkuat oleh tindakan TNI dengan menunjukkan bahwa kita mempunyai kemampuan nyata untuk membela kedaulatan negara kita. Untuk itu TNI diperkuat kemampuannya, khususnya TNI-AL dan TNI-AU.

Indonesia harus mengirimkan delegasi ke China dan Russia untuk menegosiasi pembelian kapal perang, pesawat tempur dan sistem senjata lainnya, khususnya peluru kendali dan roket. Karena keuangan kita terbatas, harus kita temukan cara non-konvensional untuk membayar. Seperti menawarkan konsesi minyak di Ambalat kepada Russia dan China. Malaysia harus dicegah menciptakan fait accompli, justru Indonesia harus menunjukkan secara fisik kehadirannya di semua daerah yang masuk wilayah nasional.

Hal-hal yang perlu segera dilakukan :
  • Menduduki semua pulau yang masuk wilayah yang hendak direbut Malaysia dengan pasukan TNI diperkuat Relawan.
  • Menduduki semua pulau yang masuk wilayah yang hendak direbut Malaysia dengan pasukan TNI diperkuat Relawan.
  • Membuat TNI-AL dan TNI-AU mampu untuk menguasai wilayah Indonesia di sekitar Ambalat. Apabila kemampuan cukup tinggi harus ada kesediaan melakukan tembakan peringatan kepada kapal atau pesawat Malaysia yang melanggar kedauilatan wilayah.
  • Mengaktifkan rakyat, seperti nelayan, untuk melakukan kegiatan secara nyata di wilayah itu dengan dilindungi TNI.
  • Memasang tanda kedaulatan, seperti rambu-rambu, di semua pulau di wilayah itu.
  • Membuat peta perbatasan, kalau belum ada, sesuai dengan pendapat kita.
  • Menggerakkan opini di ASEAN untuk berpihak kita, khususnya Filipina yang juga mempunyai masalah perbatasan dengan Malaysia dan Vietnam.
  • Mengusahakan gerakan di Malaysia yang mendukung kita. Seperti kemungkinan mengajak Anwar Ibrahim menuduh peran Shell dan Petronas yang dikendalikan anak mantan PM Mahathir Mohamad.
  • Mencegah FPDA mendukung Malaysia, khususnya Singapura, Australia dan Selandia Baru.
  • Mengirim delegasi ke China dan Russia untuk pembelian sistem senjata.
  • Mempengaruhi opini publik di Indonesia agar emosi tidak mengarah ke tindakan merugikan dan melawan sinisme cendekiawan dengan rindakan nyata.