Sebuah Tes untuk Revolusi

Share:
Pemilihan umum di Iran berakhir dengan kemenangan Ahmadinejad dengan perolehan suara lebih dari 50%. Kemenangan ini bukan hanya membuktikan bahwa dia masih memiliki basis politik yang kuat, tetapi juga dukungan massa yang luas.

Kemenangan itu juga membuktikan bahwa kebijakan Ahmadinejad selama empat tahun terakhir betul-betul merupakan pilar yang mampu menopang independensi Irak dari campur tangan asing. Kemenangan Ahamadinedjad memunculkan reaksi keras dari para pendukung lawan politiknya, Mousavi, yang lebih berhaluan moderat.

Situasi anarkis pasca-Pemilu Iran menjadi ukuran awal untuk menilai kemungkinan terjadinya revolusi di negara itu, sekalipun saat ini keadaan sudah sedikit mereda. Perkembangan politik pascapemilu di negara itu kelihatannya telah mencapai tahap revolusi Islam Iran seperti yang pernah terjadi tahun 1979, yang secara historis dianggap sebagai periode ketegangan internal yang paling menggemparkan.

Jumlah korban yang tewas dan yang ditahan meningkat sejak pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei mengesahkan hasil pemilu tersebut. Pengesahan itu sekaligus mendukung Ahmadinejad untuk memerintah kembali untuk empat tahun ke depan. Protes dan situasi anarkis yang terus-menerus di Iran pascapemilu presiden akan membuat negara itu menjadi sumber ketidakstabilan di kawasan.

Berbagai spekulasi muncul di balik kerusuhan yang terjadi setelah hasil Pemilu Iran diumumkan di publik. Orang semakin percaya bahwa pascapemilu presiden di negara itu adalah awal dimulainya sebuah "revolusi". Revolusi yang sukses memiliki tiga tahap. Pertama, segmen terbatas dari masyarakat yang sifatnya strategis secara vokal mulai mengekspresikan ketidakpuasan mereka dengan turun ke jalan-jalan utama, utamanya di ibu kota negara.

Segmen ini didukung oleh segmen-segmen lain di luar ibu kota sehingga menjadi lebih asertif, merusak, dan potensial berkembang menjadi aksi kekerasan. Tahap ini sudah terjadi di Iran beberapa hari setelah hasil pemilu presiden diumumkan ke publik. Kedua, sementara resistensi terhadap rezim yang berkuasa meluas, rezim itu sendiri menggelar aparatur keamanannya untuk menekan para pemrotes.

Aparat keamanan ini, yang merupakan kelompok terpisah dari masyarakat pada umumnya, berpihak kepada dan bertindak atas nama rezim yang berkuasa dan akan menghentikan tindakannya setelah menerima perintah dari penguasa. Ini adalah kejadian yang pernah dialami Iran tahun 1979, Rusia tahun 1917, dan di Rumania tahun 1989.

Terakhir, revolusi itu akan gagal jika ada kelompok masyarakat yang sejak awal tidak mau bergabung dengan kelompok yang menginisiasi aksi-aksi awal. Ketika protes-protes itu tidak menyebar ke kota-kota lain, rezim penguasa akan berkonsentrasi menekan kelompok-kelompok yang melakukan protes di satu tempat tertentu. Ini terjadi di Tiananmen Square di China.

Di situ, mahasiswa yang protes tidak didukung oleh kelompok masyarakat lain. Kekuatan militer yang tidak loyal kepada rezim penguasa, tetapi mengambil sikap bermusuhan dengan mahasiswa, digiring untuk menekan mahasiswa. Apa yang kita saksikan di China pada masa itu juga terjadi di Iran minggu lalu.

Media global, yang secara obsesif memfokuskan pada para demonstran yang mendukung lawan politik Ahmadinejad, gagal memahami bahwa demonstrasi menentang lawan politik Amhadinejad itu dilakukan oleh kelompok yang sama. Selain itu, media juga gagal menyaksikan kenyataan bahwa kerusuhan itu tidak menyebar ke kelas-kelas lain dalam masyarakat dan wilayah-wilayah lain di Iran.

Ketika Ayatollah Ali Khamenei mengerahkan Korps Garda Revolusioner Islam, media tidak sadar bahwa pasukan itu adalah pasukan yang loyal terhadap rezim karena alasan ideologi dan sosial dan juga bersimpati kepada para demonstran.

Kegagalan dalam memahami ketegangan sosial di Iran hanya akan memunculkan perspektif yang keliru mengenai apa yang terjadi di Iran sekarang ini. Apa yang terjadi di Iran bukanlah seperti apa yang terjadi di St.Petersburg 1917 atau di Bucharest 1989, tetapi mirip dengan apa yang terjadi di Tiananmen Square.***

Krisis politik di Iran tidak akan berakhir dalam waktu dekat ini. Ketegangan dalam elite politik Iran begitu dalam. Meskipun mungkin tidak akan terjadi revolusi, itu tidak berarti tidak ada krisis dalam elite politik Iran, khususnya di kalangan para pemuka agama.

Banyak di antara para pemimpin agama di Iran melihat Ahmadinejad sebagai sosok yang tidak bersahabat dengan kepentingan para pemimpin agama, mengancam hak prerogatif finansial mereka, dan mengambil risiko internasional yang tidak ingin mereka tanggung. Popularitas politik Ahmadinejad terletak pada sikap populisnya yang melihat adanya korupsi di kalangan para pemuka agama dan keluarganya serta sikapnya yang sangat kuat mengenai isu-isu keamanan nasional.

Sementara itu, para pemuka agama juga terpecah, tetapi kebanyakan menghendaki Ahmadinejad kehilangan kendali untuk melindungi kepentingan mereka. Pemimpin agung, Khamenei, menghadapi pilihan yang sulit. Bisa saja dia meminta penghitungan ulang atau pemilihan baru atau memvalidasi apa yang terjadi selama satu minggu terakhir ini, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan aturan main dalam pengambilan keputusan, yaitu konsensus antara kekuatan-kekuatan pemuka agama dan nonagama.

Banyak pemuka agama yang cukup kuat dan berpengaruh seperti Ali Akbar Hashemi Rafsanjani menginginkan agar Khamenei membatalkan hasil pemilu presiden. Namun sebagai "pembela" rezim yang berkuasa, Khamenei takut untuk melakukan hal itu.

Protes masif para pendukung Mousavi sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh pendukung Ahmadinejad, baik para pemilih maupun aparat keamanan, jika saja Ahmadinejad kalah dalam pemilihan presiden.

Khamenei telah menegaskan kembali sikapnya bahwa penguasa Iran tidak akan menoleransi lebih jauh lagi berbagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemilihan kembali Ahmadinejad yang kontroversial itu, sebuah pertanda bahwa Khamenei menerima secara penuh hasil pemilihan 12 Juni lalu.

Hasil pemilihan yang kontroversial ini mendorong pemerintahan di Washington untuk menarik kembali undangan kepada diplomat Iran untuk menghadiri peringatan kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli mendatang. Ini merupakan langkah simbolik Washington untuk memprotes cara-cara pemerintah Iran menangani para demonstran.***

Tahun 2009 ini, di Teheran akan terjadi pergulatan antara dua faksi utama di mana keduanya, seperti masa lalu, didukung oleh Republik Islam. Di sana ada pemuka agama yang telah mendominasi rezim sejak 1979 dan menikmati kemakmuran selama proses itu. Di sana juga ada Ahmadinejad, yang merasa bahwa elite pemuka agama yang berkuasa telah mengkhianati revolusi dengan akses-akses pribadi mereka ke sumber-sumber di Barat.

Di sana ada juga sebuah faksi kecil, yaitu para demonstran, yang ingin secara dramatis melakukan liberalisasi terhadap Republik Islam. Tentu saja kelompok ini tidak akan mendapat kesempatan untuk berkuasa, baik melalui pemilihan maupun revolusi. Dua faksi utama di atas menggunakan faksi-faksi yang lebih kecil dengan berbagai cara untuk memproteksi kepentingan mereka.

Ahmadinejad menggunakan situasi semacam ini untuk berargumen bahwa para pemuka agama yang mendukung faksi-faksi kecil itu akan menghadapi risiko revolusi dan terjerumus ke dalam kelompok negara-negara Barat. Kerusuhan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini adalah puncak dari gunung es dan mereka menghendaki agar Ahmadinejad diganti.

Tuntutan demikian sepertinya tidak mungkin menjadi kenyataan karena Khamenei, pemuka agama sekaligus politisi yang lihai itu, telah mengesahkan hasil pemilu dan mendukung Ahmadinejad. Seperti yang kita saksikan setelah tragedi Tiananmen Square, di Iran akan terjadi reshuffle di kalangan elite.

Mereka yang mendukung Mousavi akan mengambil sikap defensif. Sebaliknya, mereka yang mendukung Ahmadinejad tetap akan berada dalam posisi yang kuat. Singkatnya, di Iran terjadi krisis yang masif di kalangan elite, tetapi krisis ini tidak ada hubungannya dengan liberalisasi. Krisis itu ada hubungannya dengan kekuasaan dan prerogatif para elite politik.

Dengan hasil pemilu yang seperti ini di mana Khamenei terpaksa harus "hidup bersama" Ahamadinejad, kita akan menyaksikan kelompok-kelompok tertentu melakukan konsesi-konsesi politik, sementara kelompok lain akan berjuang untuk melindungi kepentingan mereka. Dalam proses itu, Ahmadinejad tetap berada dalam posisi kuat untuk memenangi pergulatan.

Terlepas dari persoalan hasil Pemilu Presiden Iran yang sangat kontroversial, Iran sebagai sebuah segara tidak dapat menghindar dari kecenderungan-kecenderungan global sekarang ini seperti demokrasi. Kalau saja Iran tidak berpihak pada sentimen-sentimen global semacam itu, mereka bukan hanya akan terisolasi dalam hubungan internasional, tetapi juga akan mengalami kemunduran yang sangat signifikan dalam pembangunan ekonominya.(*)

Bantarto Bandoro
Dosen Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia

url : http://news.okezone.com