KONTROVERSI BUKU SINTONG PANJAITAN

Share:
Sintong Panjaitan bukanlah nama asing dalam sejarah kemiliteran kontemporer Indonesia, "Sintong Hamonangan Panjaitan", yang lahir di Tarutung pada tanggal 4 September 1940, merupakan salah seorang perwira yang banyak melaksanakan operasi tempur, sejak ia lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) Angkatan 63 dengan pangkat letnan dua. Dalam buku "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" ini dikisahkan perjalanan "Sintong Panjaitan" mulai dari operasi memburu Kahar Muzakar di Sulawesi; penumpasan G30S/PKI di RRI Jakarta, Lubang Buaya dan Jawa Tengah; operasi tempur di Irian dan Kalimantan; hingga operasi antiteror pembajakan pesawat Garuda di Thailand.
 
Peluncurannya langsung Bukunya yang berjudul Sintong Panjaitan Perjalanan seorang Prajurit Komando menuai komentar dan kontroversi, utamanya bagi pihak-pihak yang bersinggungan dengan isi buku, antara lain capres dari Partai Gerindra, Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dan capres dari Partai Hanura, Jenderal TNI Purn Wiranto. Bagaimana tidak isi dari buku tersebut membawa tiga nama besar yaitu B.J Habibie, Wiranto, dan Prabowo.


Tiga nama yang kerap disebut seputar peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto, dalam buku Sintong. Penanganan kerusuhan 14-15 Mei 1998 yang dianggap gagal kala itu tidak lepas dari pertanyaan yang terus berada di benak Sintong yakni mengapa saat sehari sebelum kerusuhan Mei dan ketika terjadi kerusuhan hampir semua perwira teras TNI, seperti Panglima ABRI Jendral Wiranto tidak berada di Jakarta. 

Bahkan sampai bukunya rampung, bagi Sintong masih tidak masuk akal bahwa bagaimana mungkin para perwira tinggi kala itu tidak dapat memperkirakan kerusuhan tersebut dapat terjadi. Selain itu, menurut Sintong, Inpres No.16 Thn 1998 yang tidak terlaksana juga menjadi salah satu penyebab gagalnya pengamanan nasional kala itu. Tidak hanya sampai pada kegagalan pengamanan nasional yang dibahas, sitegang diantara beberapa petinggi TNI kala itu yang turut mewarnai pasca kerusuhan dan pasca pengunduran diri Soeharto. 

Wiranto dan Prabowo sempat bersitegang seputar pergantian Prabowo selaku Pangkostrad oleh B.J Habibie yang kala itu telah menjadi presiden, hanya karena Habibie menerima informasi dari Wiranto bahwa terdapat konsentrasi pasukan Kostrad di Jakarta tanpa sepengetahuan Wiranto sebagai Panglima ABRI. Ketika Pangkostrad juga urung diganti, Sintong sempat dituduh berpihak pada Wiranto, dengan tegas Sintong membantah, menurutnya kala itu, sebagai penasihat, Sintong hanya berpihak kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi RI.
 
Kalau kita melihat beberapa komentar dari masyarakat tentang isi dari buku yang ditulis oleh Sintong, tidak banyak yang mengartikan bahwa hadirnya buku ini adalah sebuah manuver politik Sintong yang ditujukan untuk Prabowo dan Wiranto. Dalam buku ini yang menjadi pertanyaan letak unsur politiknya adalah : 

Tokoh yang diceritakan oleh Sintong adalah masa lalu Prabowo dan Wiranto yang sekaligus sebagai calon Presiden. 

Prabowo disebutkan pada 1983 sempat berupaya melakukan counter kudeta dan hendak menculik sejumlah jenderal yang ia duga akan melakukan kudeta. Pada waktu itu, Prabowo berpangkat kapten, menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen 81/Antiteror Kopassandha. Detasemen 81 merupakan satuan yang dikehendaki L. Benny Moerdani dalam menghadapi teroris. 

Ketika itu, Letjen Benny menjabat sebagai Asisten Hankam/Kepala Intelstrat/Asintel Kopkamtib. Hubungan Detasemen 81 dengan pihak intelijen hankam sangat dekat. Satuan elite ini dipasok informasi oleh staf intelijen hankam, demikian pula sebaliknya. Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Komandan Detasemen 81/Antiteror, Mayor Luhut Pandjaitan, dikejutkan oleh laporan anak buahnya bahwa Detasemen 81 sedang siaga atas perintah Kapten Prabowo. 

Mereka sudah membuat rencana menculik Letjen Benny Moerdani dan beberapa perwira tinggi lainnya. Yaitu, Letjen Sudharmono, Marsdya Ginandjar Kartasasmita, dan Letjen Moerdiono. Luhut mengaku tidak mengerti tentang rencana tersebut. "Kok, aneh. Ada soal begini, saya sebagai komandan kok nggak tahu," katanya. Akhirnya Luhut memberikan perintah tegas, "Nggak ada itu. Sekarang kalian semua kembali siaga ke dalam. Tidak seorang pun anggota Den 81 yang keluar pintu tanpa perintah Luhut Pandjaitan sebagai komandan.".
  
Peluncuran buku berdekatan dengan akan dilaksanakannya Pemilu. 

Bagaimana tidak mengundang kontroversi, kehadiran buku Sintong dinilai sama dengan menjatuhkan nama baik para capres, dan tentu saja berpengaruh pada kondisi pamor mereka menjelang pemilu. Sintong menegaskan, buku biografinya tidak bernuansa politis, tidak pula bertujuan mencari popularitas. Menurut Sintong, buku itu dimaksudkan agar kebenaran diungkapkan dan ditegakkan. "Buku ini sama sekali bukan merupakan manipulasi politik untuk menghakimi atau menyalahkan seseorang atau pihak tertentu," kata Sintong. Ia juga menampik anggapan bahwa buku itu ada yang mensponsori untuk menjegal langkah pihak tertentu, mengingat peluncurannya menjelang pemilu Toh, kesan menjegal pihak tertentu tetap saja sulit dihilangkan. Apalagi, usai peluncuran buku itu, Sintong kembali menegaskan bahwa Prabowo, juga Wiranto, harus bertanggung jawab atas sejumlah kasus pada saat mereka menjabat. Wiranto, yang kini calon presiden (capres) dari Partai Hanura, dinilainya harus bertanggung jawab atas insiden kerusuhan Mei 1998. Dalam bukunya itu, Sintong menganggap Wiranto gagal menangani kerusuhan. Sedangkan Prabowo, capres dari Partai Gerindra yang popularitasnya tengah melesat, harus bertanggung jawab atas kasus penculikan sejumlah aktivis.