Jenderal Besar TNI (Purn) A.H Nasution : Jujur Pada Sejarah dan Nurani

Share:
Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun.

Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nas pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.

Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.

Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.

Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.

Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.

Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya
melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.

Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.

Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).

Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.

Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.

Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Mtode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).

Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri (seorang terbunuh).

Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik ''Peristiwa 17 Oktober'', yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.

Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.

Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab pertanyaan seorang wartawan Amerika, ''Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan.''
Adalah merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini pernah dikaruniai seorang putra bangsa sekaliber almarhum Pak Nas, seorang Jenderal yang sangat lurus dan bersahaja. Kebetulan sekali, besok, 3 Desember adalah ulang tahun beliau. Di sela-sela kesibukan kita, dimana kita semakin tidak hirau akan perjuangan pendahulu-pendahulu kita, ada baiknya apabila momen ini kita manfaatkan untuk dapat sedikit mengenali lebih dekat sosok beliau, menyimak nasehat-nasehat beliau sebagai salah seorang sepuh bangsa yang telah banyak berkorban bagi bangsa & negara. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa beliau merupakan salah satu peletak dasar-dasar pembentukan TNI, khususnya TNI AD. Beliau juga merupakan sosok pemikir sejati, dimana buku beliau yang fenomenal, yakni “Pokok-Pokok Perang Gerilya” (Fundamentals of Guerilla Warfare) telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan menjadi bacaan wajib di banyak akademi militer di berbagai belahan dunia.
Di bawah ini saya lampirkan nukilan dari wawancara beliau dengan Republika pada bulan Desember 1995. Wawancara ini cukup menarik, karena banyak memberikan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan yang selama ini ditujukan kepada beliau. Dalam wawancara ini, beliau juga memberikan pemaparan yang lugas tentang bagaimana sebaiknya sikap seorang warganegara dalam beragama dan berbangsa.
Saya secara pribadi –bukan institusi- sangat setuju dengan pendapat beliau ini, bahwa kebangsaan bukan berarti penyamarataan maupun penyeragaman total yang menghilangkan dan memangkas habis perbedaan. Perbedaan suku, agama, ras dan golongan itu adalah lumrah, dan justru merupakan kekayaan sekaligus kekuatan bagi bangsa ini. Seorang warga negara tidak harus menanggalkan kesukuan maupun keagamaan serta identitas lain yang melekat pada dirinya hanya atas nama persatuan. Bukan persatuan semacam itu yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh founding fathers bangsa ini. Justru karena pada hakikatnya berbeda itulah dinamakan “persatuan”, karena sesuatu memang disatukan disebabkan pada hakikatnya berbeda.
Almarhum Pak Nas, sebagai salah seorang putera terbaik bangsa, yang pengabdian dan pengorbanannya kepada bangsa ini tidak diragukan lagi, dimana beliau benar-benar dengan nyata (tidak sekedar wacana) telah berkorban dengan jiwa, keluarga & harta benda, sangat patut kita teladani, dan kita tidak bisa meneladani seseorang tanpa mengenalinya. Tulisan ini adalah salah satu upaya bagi kita agar kita tidak lupa sejarah, tidak lupa kepada para pendahulu kita, agar kita ingat, bahwa hari ini tidak datang begitu saja, melainkan didahului oleh hari-hari di masa lampau dimana para pendahulu kita telah berjuang dan berkarya.

take from : www.tokohindonesia.com