Republikia online 22 Des 1995
Jenderal TNI Purn. Abdul Haris |
Awal Desember lalu (3/12), old soldier Jenderal TNI Purn. Abdul Haris Nasution genap berusia 77 tahun. Acara ulang tahunnya itu berlangsung sederhana di ruang belakang rumahnya yang sudah tua, di Jalan Teuku Umar 40, Jakarta. Hanya ada sekitar 10 meja bulat dan dihadiri hanya oleh kerabat dekat. Diiringi group band Amorez, acara itu hanya diisi sambutan dari seorang kerabat keluarganya, Ny. Abdulrahman, Sekretaris Umum Yayasan Perguruan Cikini -- di sini A.H. Nasution menjabat sebagai ketua umumnya. Lalu dari keluarga, diwakili oleh cucu tertuanya, Edi dan menantunya, Edward Nurdin.
Menurut Pak Nas -- panggilan akrab A.H. Nasution -- yang kini hidup tenang bersama istrinya Johana Sunarti, semula ia tidak ada niatan untuk memestakan hari ulang tahunnya. Namun karena desakan keempat cucunya -- Eka Trisna Edyanti (Edi), Marisa Edyana (Icha), Marina Edyana (Ina), dan Vita, akhirnya ia pun menyerah. "Saya jadi harus capek lagi," tuturnya sehari sebelum acara itu.
Dalam sambutan singkatnya, Edi tak sanggup menahan tangis. Air matanya deras meleleh membasahi pipinya. "Saya tak akan melupakan pesan-pesan Opa agar bersujud syukur saat gembira dan berwudlu saat sedih," katanya. Pak Nas pun tak kuasa menahan haru mendengar sambutan cucunya itu. Matanya tampak berkaca-kaca. Bahkan terlihat air mata itu mulai menggantung di kelopak matanya.
Menurut Pak Nas, yang terpenting dari peringatan hari ulang tahun adalah bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat Allah SWT yang berupa panjang usia itu. Dan cara mensyukurinya adalah dengan memperbanyak amal saleh. Pak Nas lalu mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya dan banyak amal salehnya, dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang usianya tapi buruk perbuatannya.”
Berbagai pesan moral itu selalu ia pompakan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, bahkan juga kepada anak buahnya ketika ia masih aktif dinas. Menurut beberapa kenalannya, Pak Nas memang dikenal sebagai tokoh yang "bersih" dan bermoral, baik ketika masih aktif dinas maupun setelah di luar dinas. "Dalam politik, akhlaqlah yang harus menjadi panglima. Mulailah sesuatu dengan ketaqwaan," ujarnya kepada Republika.
Pesan-pesan moralnya tidak hanya terlihat dari jejak langkahnya, tapi juga dari puluhan buku yang ditulisnya. Karena itu dalam ulang tahunnya yang ke-77, ia justru hanya memberikan sebendel tulisan. Tulisan itu, kini masih berupa ketikan di atas kertas HVS. Dalam map warna hijau, pesan-pesan itu terkumpul dalam tiga tema: biografi dirinya yang akan dicetak sebuah penerbitan, sebuah tulisan yang ditujukan buat generasi muda dalam rangka 50 tahun Indonesia merdeka, dan tentang Esa Hilang Dua Terbilang.
"Apa yang tertulis dalam kumpulan buku pesan-pesan saya itu, baca dan pelajari. Saya akan kontrol sampai di mana dipelajari dan dihayati. Dan jangan ditunda-tunda," tutur Pak Nas kepada para cucunya. Bendelan tulisan itu diterima cucunya, Edi. "Tulisan itu agar dibaca semua cucu dan pacarnya," kata Bu Nas menimpali.
Mantan Ketua MPRS ini juga dikenal akan kesederhanaannya. Selain memberikan hadiah tulisan buat para cucunya, Pak Nas juga memberikan bingkisan kepada pembantunya, Alba. Lelaki ini selalu telaten mengurus Pak Nas yang mulai uzur. "Setiap shalat lima waktu, dia selalu menunggui saya," komentas Pak Nas tentang pembantunya ini.
Lagu-lagu lama maupun lagu-lagu Tapanuli meramaikan suasana. Tapi yang membuat hadirin bertepuk tangan justru ketika Bu Nas meminta lagu Halo-Halo Bandung. "Ini untuk mengenang masa cinta saya dengan Bapak," tutur Bu Nas yang bertemu Pak Nas di Bandung.
Pak Nas lahir di Hutapungkut, Kotanopan, Tapanuli, 3 Desember 1918. Pria yang pernah menjadi guru partikelir di Bengkulu ini merupakan salah satu peletak dasar pembangunan TNI AD. Ia juga pernah menjadi Wakil Panglima Besar mendampingi Panglima Besar Soedirman.
Berikut ini petikan wawancara Nasihin Masha dari Republika dengan Pak Nas di kediamannya, Jalan Teuku Umar 40, Jakarta, beberapa waktu lalu:
Pak Nas sekarang sudah melewati usia 77 tahun. Apa makna umur panjang buat Pak Nas?
Dalam hal ini saya berpegangan pada ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW kan hanya 63 tahun, jadi saya sudah melewati itu. Menurut ajaran Islam, semakin panjang usia berarti kesempatan beramal saleh lebih banyak lagi. Jadi usia panjang itu harus saya syukuri.
Akhir-akhir ini, Pak Nas tampak lebih dekat dengan ajaran Islam, apa itu karena usia yang sudah semakin menua?
Saya kira wajar. Cuma soalnya orang menuduh saya bahwa saya terlalu Islam cara berpikirnya. Saya jawab: ya, memang kita mesti bertaqwa, hanya dengan lewat taqwalah kita selamat dunia akhirat.
Pada waktu naik haji, saya ingat betul Raja Faisal (Raja Arab Saudi almarhum -- Red) senang sekali. Soalnya, waktu datang ke Indonesia dibacakan oleh Presiden Soekarno bahwa Indonesia bukan negara Islam tapi berdiri atas lima prinsip yaitu Pancasila. Lalu berdirilah Raja Faisal dan mengatakan bahwa apa yang disebut lima prinsip itu semua diperintahkan oleh Islam. Tapi ia mengingatkan bahwa Islam bukan hanya itu, Islam juga mengatur akhirat. Hidup di dunia ini investasi, katanya.
Sebelum kembali ke negaranya, Raja Faisal bertamu ke rumah saya. Lalu, ketika kita naik haji, di mana pun Raja Faisal berada selalu di sebelah kirinya disediakan tempat buat saya.
Sebagai pejuang, Pak Nas tentu mempunyai renungan terhadap perjalanan bangsa ini...?
Sejak memimpin TNI AD, jalan yang ditulis UUD 1945 itulah yang harus dijalani untuk mencapai tujuan membentuk Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sebenarnya kalau menurut saya pribadi, dalam menilai keadaan adalah generasi 45 itu terutama sangat terikat kepada Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat. Tapi melangkah lebih jauh ke membangun adil dan makmur masih belum. Jadi tugas kita yang akan datang adalah membangun adil dan makmur itu. Tapi tentu berdasarkan apa yang sudah kita miliki.
Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifah di bumi. Kita sebenarnya wakil Tuhan di bumi ini. Apakah nanti perkembangan bangsa Indonesia itu menempatkan dalam apa yang diajarkan oleh ketaqwaan itu, apa kita betul-betul menjadi khalifah di bumi yang membawa kebaikan? Maka yang menjawab adalah masa mendatang, bukan sekarang. Orang tentu punya macam-macam perhitungan. Tapi kalau perhitungan saya sangat jelas dan logis. Asal kamu bekerja menurut agamamu dengan sungguh-sungguh, hal itu pasti akan tercapai. Untuk itu ditunjukkan oleh UUD 1945.
Jadi menurut Pak Nas, kita sekarang ini belum adil dan makmur?
Pada waktu peralihan ke Orde Baru, saya sudah menekankan hal ini dalam pidato-pidato saya. Saya katakan, nomor satu adalah harus ada niat atau motivasi pada diri kita untuk membawa pada keadilan itu. Karena keadilan itu kan masalah amal saleh. Jadi jangan berpikir apakah saya adil dan kamu tidak. Itu lain. Ukurannya adalah amal saleh. Karena manusia dinilai dua hal: ketaqwaannya dan amal salehnya. Jadi nomor satu adalah dari diri kita. Motivasi kita.
Menurut beberapa kalangan, Indonesia sekarang ini semakin "hijau", bagaimana Pak Nas melihat perkembangan Islam sekarang ini?
Pada awal 1970-an, kita biasa bicara tentang Kristenisasi dan Kebatinanisasi, tapi sekarang lebih banyak mendengar maraknya kehidupan Islam. Ini menunjukkan perkembangan yang positif. Karena setelah G 30 S PKI, cukup banyak kawan-kawan di ABRI yang berpendapat bahwa musuh Pancasila setelah kehancuran PKI tinggal satu lagi yaitu Islam. Jadi sebagian ada yang bilang begitu.
Sekarang ini, terutama setelah munculnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), kehidupan beragama semakin marak. Kalau bulan puasa misalnya, orang bangga mengadakan buka bersama dan sebagainya.
Kalau dulu tidak kedengaran hal-hal seperti itu. Dulu para pejabat kalau mengucapkan Assalamu'alaikum itu ada rasa sebagai sikap golongan, sekarang itu sudah setiap malam kita mendengar di televisi. Bahkan Presiden kalau mulai bicara selalu Bismillah dulu. Jadi banyak perubahan. Dan kita sebagai umat Islam tentu bersyukur.
Tapi salah satu upaya yang bagus adalah pendirian Bank Muamalat. Itu juga semula banyak rintangan. Saya dengar lahirnya di kamar kerjanya Habibie juga. Bahkan ini mendorong umat Islam membiayai macam-macam proyek. Jadi bagaimana pun sekarang kita lebih bersyukur, sebab anggapan bahwa Islam musuh Pancasila berikutnya setelah Komunis, seperti di awal Orde Baru, sudah tidak ada lagi sekarang. Ini suatu kemajuan yang harus disyukuri.
Mungkin ketakutan terhadap Islam itu akibat munculnya kekhawatiran terulangnya model perjuangan Masyumi di Konstituante dulu untuk mendirikan Negara Islam?
Boleh saja orang mengira-ngira. Tapi perlu diketahui bahwa Masyumi dulu bukan berjuang untuk mendirikan Negara Islam sebagaimana yang orang bayangkan seperti sekarang. Sebenarnya Bung Natsir mengatakan, mengisi negara kita yang berdasarkan UUD 1945 ini dengan keislaman. Kurang lebih begitu.
Saya kenal baik Bung Natsir. Ia teman saya dan sekaligus kepala saya di Bandung. Sebenarnya ngomongnya begitu. Jadi tidak bilang akan bikin negara Islam.
Sebagai tokoh bangsa, apalagi tokoh militer, Pak Nas sering berbicara tentang Islam. Apakah tidak khawatir dituduh macam-macam?
Masalah membangun keislaman ini saya pernah diwawancarai CNN, saya ditanya mengapa saya sekarang berhubungan baik dengan Jenderal Soeharto. Saya jawab, saya tidak tahu dia dari dekat. Tapi kalau dia pidato selalu mengawalinya dengan Bismillahirrahmanirrahim dan Assalamu'alaikum. Itu kan baik, ya saya dukung. Saya jawab cuma sampai di situ sehingga tidak sampai bicara jauh. Lagi pula sebagai muslim kita diperintahkan untuk melaksanakan ajaran Islam di mana pun kita berada.
Bukankah bisa dituduh sebagai sektarian atau semacamnya?
Tidak. Selain itu, untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kan sudah ada pegangannya. Yaitu UUD 1945 sebagai jalan untuk mencapai cita-cita itu.
Dalam usia seperti sekarang ini, apakah masih ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Pak Nas?
Tentu saja ada. Dan itu manusiawi sekali. Saya kira, tentu kalau mau terus terang, di dalam rumah tangga tidak selalu semuanya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Apalagi dalam masyarakat. Maka timbullah ide-ide bagaimana mengatasi. Tapi kalau boleh dikatakan, saya sudah lewat batas-batas itu barangkali. Kepalanya sudah di atas es barangkali. Jadi melihatnya lain. Saya itu kalau setengah tiga malam, ya shalat tahajud. Karena itu sumber pengetahuan kita yang paling dalam. Dengan tahajud itu, segala macam urusan bisa kita atasi.
Sejak masih dinas aktif hingga sekarang, Pak Nas selalu menekankan masalah agama?
Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dunia dan akhirat. Kita mesti yakin. Itu pengalaman saya.
Dalam menghadapi masalah misalnya, kalau keagamaan kita kuat, semuanya bisa dibereskan. Islam mengajarkan untuk shalat istikharah. Dengan keagamaan yang kuat itu, kita tidak akan terpengaruh oleh omongan di luar. Jalan saja yang lurus.
Bagi saya, kalau orang itu Islamnya kuat, ia pastik akan menghormati orang yang beragama lain. Nabi SAW sendiri telah memberi contoh tentang bagaimana kita harus bertoleransi dengan umat dari agama lain. Orang Kristen serta Hindu dan Budha juga mestinya begitu.
Tadi Pak Nas menyebut soal akhirat, pernahkan terbayangkan tentang alam akhirat?
Ya, siapa tidak mikir tentang kematian. Orang hidup toh akan mati. Itu Tuhan sudah menentukan begitu. Karena itu, saya yang sudah berusia seperti sekarang ini, tentu yang saya pikirkan adalah bagaimana saya memperbanyak amal saleh buat masyarakat. Jadi tidak ada ide untuk membuat pemberontakan atau merusak masyarakat. Jelas, kalau dulu mungkin tempo-tempo ada pikiran semacam itu. Dulu, waktu masih muda, waktu zaman penjajah. Tapi kalau sudah berusia seperti sekarang ini, saya tidak ada ide-ide yang lain. Yang saya ingini sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Lalu, bagaimana mengukur taqwa itu? Dalam Islam, ukuran taqwa itu adalah berbuat harus sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Sebagai seorang militer, siapa tokoh dunia yang Pak Nas kagumi?
Saya dulu, waktu masih di kampung, di desa saya, kalau Mauludan itu dibacalah di madrasah-madrasah peperangan yang dipimpin oleh Nabi SAW. Pernah seorang sejarawan dari Australia -- dua kali datang ke sini-- bertanya, siapa panglima yang paling saya kagumi. Saya jawab, Nabi Besar Muhammad SAW. Dia kaget. Dia mengira, saya akan menjawab Naopelon atau Iskandar Zulkarnaen. Yang keluar dari mulut saya malah Nabi saya.
Saya jelaskan padanya, bahwa Nabi Muhammad itu adalah orang yang terpandai menyusun siasat perang. Walaupun ada juga kondisi seperti Perang Uhud yang terdesak, tapi siasatnya sungguh paling ampuh.
Panglima lain yang saya kagumi adalah Tarek bin Ziyad, yang telah menyeberangkan pasukannya ke Spanyol dan berkuasa di sana selama 300 tahun. Tarek itu, setelah menyeberang, semua kapal dibakar habis. Lantas dia bilang sama anak buahnya: Sekarang semua kapal sudah dibakar, jadi kalian bertempur terus atau pulang.
Ada kritik kepada Tarek pada suatu waktu, karena dia dicopot dari kedudukannya: Lho, kamu kok masih mau bertempur. Dia jawab: Saya bertempur bukan karena Khalifah tapi karena Allah SWT. Itu memang ucapan yang hebat dari Tarek.
Semasa dinas, sebelum mengambil keputusan, konon Pak Nas selalu shalat istikharah dulu?
Tidak selalu. Karena pada saat tertentu sudah tidak ada waktu lagi karena butuh keputusan segera. Tapi selama ada waktu, saya selalu shalat istikharah. Lagi pula shalat istikharah itu kan sebenarnya sederhana, kita boleh bertayamum. Juga hanya dua rakaat.
Menurut pendapat saya, dengan shalat istikharah itu kita akan merasa aman. Apa yang menjadi hasil pikiran kita itu kita laksanakan, itu merasa aman. Kalau ada yang lain tentu akan dapat petunjuk lain. Jadi itu membawa perasaan safe-nya lebih besar.
Mengapa ikut menandatangani Petisi 50?
Karena pendapat saya adalah murni dan konsekuen dalam melaksanakan UUD 1945. Jadi dari semula pendirian saya dalam rapat-rapat saya selalu bilang, kita berkumpul di sini bukan untuk membikin komplotan terhadap negara atau pemerintah. Kita berkumpul di sini untuk mencari jalan bagaimana membudayakan UUD 1945 dan Pancasila kepada masyarakat. Malah saya selalu mendahului berbicara soal itu. Itu juga pendirian dari Bung Hatta sebenarnya.
Pada 1966, kita pembagian tugas. Saya diminta untuk mengetuai MPRS yang akhirnya saya iyakan. Tahun 1967, Sidang Istimewa memberhentikan Bung Karno. Pada waktu itu, saya ingat betul bahwa untuk itu kami bulat pendirian karena Bung Karno tidak sebagaimana mestinya melaksanakan secara murni dan konsekuen UUD 1945. Itu suatu keyakinan, tentu banyak orang berpendapat bahwa pendapat saya itu politis. Bagi saya itu bukan politis, tapi doktrin. Yakin kepada UUD 1945.
Agar hati Bung Karno lebih aman, maka saya minta tokoh PNI Hardi untuk datang ke sini. Saya bilang kita sebentar lagi akan menentukan tentang Ketetapan (MPRS) No.33, maka lebih baik kamu pergi dulu ke Bung Karno. Coba tanyakan, bagaimana pendapatnya. Lalu Hardi datang dan mengatakan tidak bisa ditolong lagi. Sebenarnya saya skors Sidang Istimewa MPRS. Pada waktu skors itu saya masih berhubungan dengan pihak-pihak Parpol dan yang saya pilih adalah Hardi.
Itulah keyakinan yang teguh pada UUD 1945. Memang terlalu kita sakralkan, tapi itulah jalan untuk mencapai Indonesia merdeka yang berdaulat dan bersatu. Setelah masa Orde Baru, saya mengalami yang aneh-aneh. Saya semacam setengah buronan.
Apa sebenarnya yang menyebabkan semua itu?
Menurut pendapat saya, jelas salah satu ketetapan yang paling penting dari MPRS adalah kita membentuk Badan atau Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan hanya melalui pemilihan umum. Tidak ada satu pengangkatan di situ.
Bagi saya Pemilu itu musti murni pemilihan oleh rakyat. Jadi tidak ada pengangkatan-pengangkatan. Tapi, lalu dibikin aturan, ada MPR, DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan Fungsional. Ini diatur semua. Tapi Golongan Fungsional diubah-ubah. Ada saatnya porsinya besar, ada saatnya kursinya kecil. Jadi perbedaannya pada persoalan MPR ini. Karena bagi saya, satu-satunya kedaulatan di Indonesia adalah MPR.
Pak Nas dikaruniai umur panjang, bagaimana Pak Nas melihat ini?
Kematian itu kan yang orang dari agama lain tempo-tempo cemburu pada orang Islam. Dia bilang orang Islam tidak takut untuk meninggal. Itu juga yang dikatakan almarhum MAW Brouwer dari Bandung. Dia juga menulis tentang saya. Dia bilang sebenarnya dia takut mati. Dia orang yang cara berpikirnya lurus. Dia cemburu sama orang Islam yang tidak takut mati. Bagi orang Islam, kematian itu kan pangkal bagi kehidupan yang lebih panjang. Itu kan peralihan, menuju alam barzakh. Akhirnya kita semua akan pergi ke sana. Tapi dia cemburu dengan itu.
take from : http://www.tandef.net/mengenang-jenderal-besar-ah-nasution