Perluasan Wewenang Inti Revisi UU Terorisme

Share:
Rencana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus memuat perluasan wewenang aparat kemanan dalam penanganan teror.

Selain itu, pengawasan atas kewenangan yang diberikan pada aparat. Ini poin inti dalam revisi yang kemungkinan akan dilakukan DPR periode 2009-2014.

Usulan tersebut dikemukakan pengamat intelijen Wawan Purwanto, Selasa (1/9), menanggapi persetujuan DPR untuk merevisi UU Terorisme.

Diungkapkan, saat ini aparat kesulitan menangkap orang-orang yang dicurigai akan melakukan tindakan teror apabila tidak memiliki bukti.

Sehingga penanganan teror masih menggunakan pendekatan penanganan kriminal biasa.

“Oleh karena itu, perluasan wewenang tersebut harus tertuang secara tegas dalam revisi UU Terorisme. Ini sebagai upaya preventif dalam tindak pidana terorisme,” ujar Wawan.

Untuk mengawasi wewenang tersebut, Wawan juga mengatakan harus dibentuk komisi pengawas yang mengontrol tindakan aparat keamanan yang besar agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Poin selanjutnya, tandas Wawan, adalah pelibatan desk antiteror TNI dalam penanganan terorisme. Pada poin itu harus ditegaskan tugas TNI adalah sebagai pendukung dari kepolisian agar tidak terjadi tumpang tindah wewenang.

Revisi UU Terorisme disepakati Senin (31/8) dalam rapat kerja antara Komisi I DPR dan jajaran menteri bidang politik dan keamanan, yaitu Menhan Yuwono Sudarsono, Panglima TNI Djoko Suyanto, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menhukham Andi Mattalatta, Mendagri Mardiyanto, Kapolri Bambang Hendarso Danuri, dan Menkopolhukam Widodo AS (Koran Jakarta, 1/9).

Pendapat senada dikemukakan pengamat intelijen Dynno Cresbon yang menyatakan semangat revisi UU Terorisme terletak pada akomodasi kewenangan intelijen desk antiteror TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan deteksi, pencegahan, dan penindakan cepat aksi terorisme bersama kepolisian.

Dia menjelaskan bukti-bukti awal kegiatan terorisme, hasil temuan intelijen baik polisi, TNI, atau BIN kemudian dikoordinasikan secara bersama-sama.

“Hasil bukti awal tersebut ditindaklanjuti dengan operasi pencegahan maupun penindakan baik kepolisian sendiri atau melibatkan lembaga lain,” kata Cresbon.


UU Perbantuan Militer

Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra Zen menyatakan kalaupun harus tetap melibatkan TNI dalam penanganan teror dengan kewenangan yang lebih, mestinya hal itu termaktub dalam UU Perbantuan Militer. ” UU Perbantuan Militer itu dulu yang harus ada.”

Sedangkan Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi mengingatkan ketika TNI dilibatkan dengan kewenangan lebih, pasti ada implikasi penambahan anggaran. Oleh karena itu, lebih baik penambahan anggaran untuk program peningkatan keahlian kepolisian, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dan intelijen.

Terkait tindak pidana terorisme itu, kepolisian, telah menetapkan status Muhammad Jibril sebagai tersangka dan langsung ditahan. Dia diduga ikut terlibat dalam proses aliran dana untuk kepentingan pengeboman dua hotel mewah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, yakni Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton.

“Namun polisi tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjenpol Nanan Sukarna, Selasa (1/9). Polisi juga mengizinkan keluarga Muhammad Jibril bertemu dengan pemilik situs Arrahmah.com tersebut di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.