Manfaat serba bisa dari sel punca membuat banyak pemasar senang melabel produknya dengan sel punca dan dijual baik kepada tenaga kesehatan maupun langsung kepada pengguna. Padahal, pemanfaatan sel punca secara klinik masih dikategorikan sebagai terapi eksperimental, yaitu boleh dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tetapi membutuhkan pengawasan ketat.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pelaksana Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) Ferry Sandra, dalam diskusi pakar mengenai Etika Penelitian Sel Punca Indonesia di Jakarta, Rabu (11/3). Acara itu dihadiri para pakar bidang sel punca dari berbagai daerah di Tanah Air yang tergabung dalam ASPI.
Sel punca adalah sel-sel yang belum terspesialisasi jadi sel apa pun dalam tubuh mahluk hidup. Karena masih begitu muda, sel punca mampu menjadi sel apa saja seperti sel otot rangka, otot jantung dan sel saraf, serta bisa terus memperbarui diri. Kemampuan inilah yang menarik para peneliti untuk terus mencari jalan agar mengetahui cara mengendalikan proses perkembangan sel punca sehingga nantinya bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia.
Sekitar tahun 1960-an, peneliti dari kanada, Ernest A McCulloh dan James E Till mulai meneliti sel punca. Saat itu para peneliti percaya bahwa salah satu sumber sel punca terbaik adalah yang berasal dari embrio, sehingga banyak pemerintah di dunia melarang penelitian sel punca lantaran takut akan jadi banyak pembunuhan bayi yang masih dalam bentuk embrio.
Namun saat ini, berkat teknologi yang sudah cukup maju, sel punca bahkan bisa diperoleh dari sel-sel lain selain embrio seperti sel darah tali pusar, sumsum tulang hingga sel yang diinduksi menjadi sel punca. Saat ini makin banyak negara telah mengizinkan riset dalam bidang sel punca, termasuk Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama.
Mengingat riwayat riset dan pemanfaatan sel punca yang belum terlalu lama, para peneliti Indonesia terus bereksperimen. Penelitian sel punca di Indonesia juga berkembang pesat yang ditandai munculnya sentra-sentra riset baik dasar maupun terapan antara lain di Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Diponegoro, Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Medistra, serta Institut Sel Punca dan Kanker.
Namun, pemanfaatan sel punca di Indonesia masih menim bulkan kontroversi karena tidak adanya regulasi yang jelas. Untuk itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Prof Agus Purwadianto menyatakan semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk merumuskan suatu regulasi yang jelas mengenai pengemba ngan sel punca. Tujuannya agar pengembangan sel punca tidak merugikan masyarakat sebagai pengguna sel punca. ASPI harus terlibat aktif dalam penyusunan regulasi, ujarnya.
Prof Sjamsuhidajat dari Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan menambahkan, semua pihak juga perlu duduk bersama mencari kesepakatan di antara para peneliti agar bisa menyuarakan apa yang menjadi keinginan para peneliti sel punca di Indoensia, sehingga bisa tersusun suatu pedoman yang disepakati bersama. Tujuannya, agar penelitian sel punca bisa terus berkembang dan menjadi terapi unggulan bagi bagnsa dan negara Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya.
take from : http://kesehatan.kompas.com