Banyak aspek yang dapat dilihat dari debat capres/cawapres yang disiarkan secara langsung. Salah satunya adalah aspek kedewasaan berpolitik yang mencakup penguasaan materi debat, perlakuan atas lawan debat, dan sikap para pendukung masing-masing yang berdebat.
Mengatakan penguasaan materi debat sebagai salah satu tolok ukur kedewasaan berpolitik berarti kita menyinggung keseriusan para capres/cawapres dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan moderator. Kita menyaksikan bahwa setiap capres atau cawapres yang tampil berusaha secara sungguh-sungguh memecahkan soal yang ditanyakan moderator. Di layar kaca tampak bahwa mereka berusaha keras untuk memberikan jawaban yang terbaik, setidaknya menurut penilaian mereka masing-masing.
Di arena debat kita melihat bahwa tiap tim sukses berupaya memberikan feeding kepada jagoannya, khususnya pada saat commercial break, terkait dengan substansi debat. Kesungguhan di panggung depan (front stage) ini sudah tentu merupakan cermin dari keseriusan mereka mengantisipasi segala sesuatunya saat masih di panggung belakang (back stage). Kita semua tahu bahwa mustahil mereka bisa tampil dengan baik di panggung depan bilamana persiapannya minim di panggung belakang.
Kenyataan ini juga membuktikan bahwa debat capres/cawapres memaksa setiap pasangan untuk mampu mempertanggungjawabkan sikap politiknya di hadapan publik (pemirsa). Debat mendorong setiap kandidat untuk selalu membuat perhitungan secara masak-masak tatkala berbicara politik, sesuatu yang belum tentu kita saksikan andaikan tidak ada debat. Debat ini juga, dengan segala aturan yang diterapkan KPU, mengharuskan adanya sikap saling menghargai di antara peserta debat.
Kendati sekali-kali suhu meninggi, setiap kandidat tampak masih mampu menguasai diri. Tentu saja ini segi yang sangat positif dari debat. Perbedaan dan persaingan tidak harus membuat perpecahan, apalagi dendam di antara para capres/cawapres. Di layar kaca memang yang tampak menonjol adalah perbedaan dan persaingan itu yang tecermin dari jawaban-jawaban yang saling bersilangan. Namun jika kita menyaksikannya secara langsung, betapa setiap kandidat yang berdebat saling menyapa dan melemparkan senyum satu sama lain, baik sebelum debat dimulai, ketika jeda iklan maupun seusai debat.
Mungkin karena pengaruh ketatnya aturan, faktanya menunjukkan bahwa para pendukung tiap kandidat juga mampu bersikap dewasa. Setiap orang yang hadir menyaksikan debat tampak bersikap tenang, sejak awal hingga berakhirnya debat. Dari layar kaca juga kita lihat setiap pengunjung duduk manis di tempat masing-masing. Begitu pula di luar arena debat mereka mampu menjaga ketertiban sesuai ketentuan yang diberlakukan KPU.
Bukan Answering Machine
Boleh jadi kedewasaan yang telah ada itu merupakan kedewasaan yang semu karena dikondisikan (dipaksakan?). Namun, harus diakui, penaatan atas tata tertib debat yang dibuat KPU itu merupakan kedewasaan tersendiri. Sekalipun banyak yang menilai bahwa aturan tersebut mengakibatkan debat menjadi kaku, kita juga tentu sepakat bahwa debat itu mestilah tetap berlangsung dengan tenang tanpa gesekan fisik baik di antara kandidat maupun antarpendukung.
Kalau hal itu sampai terjadi pasti akan mencoreng citra demokrasi kita bukan hanya di Tanah Air tetapi juga di dunia internasional. Karena itulah kedewasaan politik ini harus ditingkatkan, terutama oleh para kandidat itu sendiri tatkala berdebat, di samping oleh para moderator. Untuk para kandidat, pendewasaan itu dilakukan dengan menjadikan perdebatan sebagai ajang adu program, bukan sebatas menganalisis secara panjang lebar pertanyaan moderator. Kalau para kandidat melakukan yang terakhir ini tak ubahnya dengan the answering machine.
Dari debat yang telah berlangsung, saya menilai para kandidat belum terfokus pada program, melainkan masih sering melakukan analisis masalah, termasuk evaluasi atas kegagalan dan atau klaim atas keberhasilan, tetapi belum disertai dengan tawaran program yang terukur. Jika suatu kebijakan pembangunan dianggap gagal, program alternatif apa yang ditawarkan? Kalau diakui sukses, program lanjutan apa yang akan dilakukan? Tentu saja penjelasan secukupnya sangat diperlukan atas program yang dilontarkan.Yang patut diingat bahwa penjelasan itu mestilah logis.
Sebab publik akan menilai apakah satu penjelasan koheren dengan penjelasan lainnya? Apakah setiap pernyataan yang dilontarkan berkorespondensi dengan kenyataannya? Seberapa realistis setiap gagasan yang dilontarkan untuk dilaksanakan di lapangan? Dengan menyimak debat seperti itu niscaya pemirsa bukan hanya bisa membedakan satu kandidat dari kandidat lainnya, tetapi juga memahami siapakah di antara mereka yang program-programnya logis, apologis, dan tautologis.
Kandidat dengan programnya yang logis akan tampak dalam koherensi antarargumen atau penjelasannya, relevansinya dengan kenyataan, serta realistisnya untuk dilaksanakan di lapangan. Kandidat dengan program yang apologis hanya mencari pembenaran-pembenaran atas apa yang telah dilakukannya. Sedapat mungkin kandidat apologetik akan membela tindakan-tindakannya sekalipun dia tahu langkah itu salah. Adapun kandidat yang maju dengan program tautologis, penjelasannya akan banyak disesaki kata-kata "harus", "mesti", atau "akan".
Alhasil, programnya tak terukur karena dirumuskan secara kualitatif belaka seperti "jumlah orang miskin harus dikurangi, "masalah TKI akan dituntaskan," "pengangguran harus ditekan", "pelayanan publik akan diperbaiki". Pernyataan-pernyataan seperti ini tautologis belaka.
Peran Moderator
Dari debat yang telah berlangsung, tampak bahwa peranan moderator sangat besar dalam pendewasaan politik, baik dalam substansi maupun dalam jalannya debat. Jenis pertanyaan yang diajukan dan pengaturan waktu oleh moderator memengaruhi jawaban yang diberikan para kandidat dan suasana debat.
Seperti diketahui, KPU sudah memilih lima moderator: Rektor Universitas Paramadina Prof Dr Anies Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Komarudin Hidayat, ekonom INDEF Aviliani, MSc; Ketua PB IDI Dr dr Fachmi Idris dan Dekan Fisipol UGM Dr Pratikno. Dipilihnya kelima moderator ini karena mereka dianggap sebagai orang independen. Alasan KPU tepat, sebab jika tak independen, moderator bisa tidak adil baik dalam waktu maupun substansi.
Dengan moderator yang independen, debat capres/cawapres diharapkan bukan hanya berjalan dengan seimbang dan imparsial, tetapi yang lebih penting lagi adalah tergalinya struktur dalam (deep structure) para kandidat dalam menyikapi tema debat. Di tangan moderator yang independen, kita berharap debat tidak hanya menjadi salah satu ritual dalam proses pilpres, tapi menjadi forum dialog antara para capres/cawapres dengan rakyat yang diwakili oleh moderator. Setelah beberapa kali debat, ternyata independen saja tak cukup.
Dari pantauan suara publik melalui media massa, umumnya mereka menghendaki agar para moderator mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mampu merangsang lahirnya jawaban-jawaban berupa tawaran program yang logis, terukur, dan dapat dilaksanakan di lapangan dari setiap kandidat. Dalam konteks ini tidaklah dimaksudkan supaya moderator mengajukan pertanyaan atau masalah yang sangat-sukar-sekali sehingga para capres/cawapres tidak bisa menjawabnya, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membebani pikiran rakyat, khususnya kalangan tak beruntung.
Kata lainnya, publik berharap para moderator tidak mengajukan pertanyaan yang ingin diajukannya sendiri, tetapi pertanyaan yang ingin diajukan oleh rakyat kebanyakan kepada para calon pemimpinnya, sesuai tema debat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu hendaknya "mewakili" pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya (baca: program yang realistis) bersifat memecahkan masalah yang dihadapi rakyat.
Jika pada akhirnya jawaban yang muncul malah apalogis, bahkan tautologis, kesalahannya bukan pada moderator lagi, melainkan ditanggung oleh para capres/cawapres sendiri. Kalau itu yang terjadi, biarlah publik yang memberinya penilaian; terutama dalam bilik suara pada 8 Juli nanti: menangkah dia atau sebaliknya menelan kekalahan?(*)
Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
url : http://news.okezone.com