Tulisan ini dibuat bukan hanya mengenang perjalanan Sutopo, seorang pakar bencana alam yang wafat, akibat terpaksa menyerah melawan penyakit kanker parunya. Suatu penyakit mematikan dan fatal yang didapat bukan karena kelakuan penderitanya, melainkan arogansi lingkungan sekitarnya sebagai perokok yang tidak merasa bersalah – seperti juga para pembuat rokoknya di negeri ini.
Banyak orang yang berguna dan masih dibutuhkan, bahkan punya karier cemerlang akhirnya tumbang sebagai korban penyakit yang perjalanannya begitu agresif tanpa ampun. Seperti penyakit-penyakit lain pada umumnya, di dunia kesehatan kita mengenal istilah ‘hal-hal yang tidak bisa diubah’ dan ‘banyak hal yang bisa diubah’. Hal yang tak mungkin (hingga kini) berubah antara lain faktor genetik yang terkait dengan bawaan keturunan, usia yang tidak bisa ditarik mundur, dan jenis kelamin.
Beberapa kanker tentunya terkait dengan jenis kelamin, seperti kanker prostat pastinya hanya diderita lakil-laki, begitu pula kanker indung telur penderitanya hanya perempuan. Kedua kanker terkait jenis kelamin tersebut pun tidak begitu saja hadir tanpa penyebab – yang saat ini sudah ada beberbagai penelitian yang mengaitkannya dengan gaya hidup. Dengan demikian, amatlah konyol apabila kita harus menderita akibat sekian banyak jenis kanker yang semestinya tidak usah terjadi, karena penyebabnya bisa dihindari bahkan dieliminasi sama sekali. Sebutlah soal faktor polusi – mulai dari asap rokok hingga emisi kendaraan dan buangan pabrik. Faktor apa yang dimakan dan diminum – sayangnya sebagian besar rakyat kita baru takut jika efeknya segera, seperti diare atau hepatitis. Faktor kegemukan pun, yang sudah diteliti erat kaitannya dengan beberapa jenis kanker tentu mudah sekali dicegah.
Hanya saja, untuk seseorang menjadi gemuk (sama seperti karsinogen potensial dalam bahan makanan) dibutuhkan hitungan bulan dan tahun. Setelah menggemuk pun, dibutuhkan sekian bulan dan tahun lagi saat insulin-like growth factor (IGF) berkontribusi dalam setiap tahap perubahan sel untuk menjadi ganas: mulai dari perubahan struktur, perbanyakan, invasi lokal, penyebaran ke organ jauh, hingga kekebalan terhadap pengobatan. Dan selama perjalanan sekian tahun itu, semua kontributor penyebab kanker saling tumpang tindih, sehingga tak ada satu dokter pun bisa menuding siapa biang kerok penyebab utamanya. Saya pernah mengutip suatu kisah perumpamaan tentang seekor kodok yang direbus pelan-pelan di atas api, dalam panci yang suhu awal airnya sama seperti air kolam. Hal ini menjelaskan tentang bagaimana manusia melakukan adaptasi dan mengadopsi ‘normalitas yang baru’ begitu hampir tidak kentara setiap perubahan yang dilalui, sampai akhirnya suatu kondisi mengenaskan terjadi dan itu dianggap hal biasa.
Mendengar keluarga yang serangan jantung lalu pembuluh darah koronernya dipasang alat berbentuk cincin, saat saya masih kecil kedengarannya horor sekali. Sekarang? Umur 30-40 tahunan, sudah dianggap hal biasa, seperti tindik telinga. Antri berderet di rumah sakit, bahkan dokter yang mengerjakannya bisa begitu luwes, fasih, seperti menyetir mobil otomatis tanpa perlu mengurutkan kembali bagaimana caranya pindah gigi persneling. Setelah selesai dengan prosedur ‘pembenahan tubuh’, jika ditanya pasiennya harus bagaimana menata hidup selanjutnya, banyak dokter enteng menjawab, ”Ah ya enggak usah gimana-gimana. Makan biasa aja... kita hidup harus fun dong ya,...” Lebih gawat lagi jika pakar kanker yang ditanya. Mereka selalu menganjurkan pasiennya makan lebih banyak. Biar kuat. Apa saja boleh dimakan. Saya kerap minder mendengar omongan mereka. Seakan-akan para pakar ini kok tahu banyak soal makanan. Terutama makanan yang enak-enak, katanya. Agar jika mual saat dikemoterapi tetap bisa makan. Apa saja. Rasanya mau tepok jidat.
Beberapa pasien yang datang minta pendapat ke saya dengan muka memelas bertanya,”Dok, serius nih, saya tetap bisa makan gorengan, mi instan, ngopi, bahkan makan sate dan bistik?” Susah sekali menjawabnya. Karena itu saya tidak akan menjawab langsung, takut dimarahi sejawat yang pakar tadi. Biasanya pasien saya dudukkan dalam kelas, dan kelas ini membahas banyak soal kebiasaan, tubuhnya butuh apa dan kecanduannya teriak apa – sehingga muncul orkestrasi yang diam-diam membuat tubuh manusia seperti kodok dalam panci berisi air dan dipanaskan perlahan-lahan. Dengan kulit sudah merah melepuh, bagi si kodok untuk melompat keluar dari pancinya tidak akan mampu lagi. It is just too late. Betul, tidak semua pakar akan mengizinkan pasiennya makan semaunya dan seketemunya. Tapi itu pun masih dengan bahasa yang amat sumir. “Boleh, jangan banyak-banyak ya. Sesekali tidak apa-apa”. Batasan tidak banyak dan sesekal, bisa jadi tidak jelas juga untuk sang pakar. Apalagi buat pasiennya.
Akhirnya ada anjuran kocak dan tidak masuk akal. Boleh makan kolak, asal dua sendok saja. Lah, sisanya siapa yang makan? Kolaknya diberi santan yang dihangatkan berulang atau tidak? gulanya berapa banyak? itu kisah lain lagi yang tak kalah ricuhnya. Janganlah terlalu gegabah, arogan dan sesumbar mengatakan kanker tidak ada sebabnya. Di negeri kita, penyebab-penyebab itu bebas berkeliaran, bahkan masih diiklankan. Mereka yang memproduksinya secara massal, punya peta bisnis yang terstruktur, sistematik dan masif. Strukturnya ada di jejaring pemasaran. Sistematik perdagangannya lebih canggih dari pada pemerintah daerah melakukan percepatan penanggulangan stunting. Masifnya? Jangan ditanya. Rakyat hafal dengan lagu pendek alias jinggle begitu banyak iklan, para influencer, artis dan kemeriahan iklannya dipakai dimana-mana, menyeruak di pelbagai media. Pun tanpa permisi masuk ponsel tiap orang, memberi iming-iming diskon luar biasa atau mengumpulkan poin bekerjasama dengan penyedia pembayaran digital. Suhu perdagangan menghangat, memanas. Semua bahagia karena ekonomi menanjak katanya. Dan sang kodok mulai bersemu merah kepanasan – tanpa tahu sebabnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?", https://lifestyle.kompas.com/read/2019/07/12/090300520/apa-benar-kanker-tidak-diketahui-penyebabnya-?page=3.
Penulis : DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.
Editor : Bestari Kumala Dewi