Pemerintah China punya dalih sendiri, setelah sebelumnya kukuh menganggap bahwa Uighur berusaha untuk melepaskan diri dari negaranya. Sementara itu, negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa telah menjadikan isu Uighur sebagai instrumen untuk merusak citra China yang sedang menjadi primadona dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan.
Tak-tanggung-tanggung, diberitakan Kompas, sejak 2014, pemerintah China sudah menangkap 13.000 orang terduga teroris. Dengan dalih mengamankan negara dari ancaman teror dan separatisme, pemerintah China lantas melakukan tindakan pelarangan praktik beribadah, menghancurkan masjid, dan menempatkan Muslim Uighur dalam satu tempat layaknya kamp konsentrasi yang dibuat oleh Nazi pada Perang Dunia II.
Sontak, perlakuan tersebut menuai kecaman dunia. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Koran kenamaan Amerika Serikat, Wall Street Journal bahkan menduga bahwa pemerintah China “menyuap” negara-negara Muslim dan organisasi Muslim agar bungkam terkait masalah Uighur.
Dalam hemat media-media itu, China dituding telah melakukan pembantaian etnis. Sebaliknya, menurut China, mereka tetap memberikan perlakukan manusiawi terhadap Muslim Uighur dalam konteks membangun integrasi dan cinta Tanah Air. Bagi mereka, musuh utamanya adalah terorisme, dan itu tak lagi bisa diganggu gugat.
China juga menyebutkan, Uighur adalah semua definisi yang dibutuhkan dari ancaman separatisme yang menggoyang negara. Terkait ini, Tirto menulis sejarah panjang Muslim Uighur. Media itu menyarikan informasi dari Kantor Informasi China soal sejarah Uighur di Xinjiang pada Minggu (21/7). Dalam dokumen tersebut tertulis, China adalah negara multietnis, dan beragam etnis di Xinjiang telah menjadi bagian dari negara China sejak lama.
Mengutip Xinhua News, dokumen yang disebut “Historical Matters Concerning Xinjiang” tersebut mencatat, di era yang lebih modern, musuh dari luar China, terutama kaum separatis ekstremis agama, dan teroris telah mencoba memecah belah China dengan mendistorsi sejarah dan fakta.
Xinjiang menjadi wilayah tak terpisahkan dari pemerintah China. Sementara, kelompok etnis Uighur pun mengalami proses migrasi dan integrasi yang panjang, tetapi tetap bagian dari negara China.
Dokumen ini juga menyebutkan bahwa agama dan budaya bisa hidup berdampingan. Bahkan, budaya etnis dipupuk dan dikembangkan dalam pelukan kebudayaan China. Islam dalam hal ini bukanlah satu-satunya sistem kepercayaan masyarakat Uighur. Hanya saja, Islam mengakar dan berkembang dengan baik di Xinjiang.
“Pertarungan Xinjiang melawan terorisme dan ekstremisme adalah pertempuran untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat dan biadab. Karena itu, ia layak mendapatkan dukungan, rasa hormat, dan pengertian,” tulis dokumen itu.
Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa dunia saat ini menganut pemahaman ganda mengenai terorisme dan ekstremisme, sehingga apa yang terjadi di Xinjiang dianggap sebagai sebuah kejahatan dan tekanan dari pemerintah China yang menolak kepercayaan etnis Uighur. Perlu diketahui, dokumen itu juga menandaskan soal warga Uighur yang memeluk Islam karena ada unsur paksaan di dalamnya.
“Masyarakat Uighur mengadopsi Islam bukan karena kehendak sendiri […] melainkan dipaksakan kepada mereka selama perang agama dan penguasa lokal,” sebut dokumen tersebut, dikutip South China Morning Post.
Kepercayaan Islam dipaksakan ke etnis Uighur selama masa ekspansi Arab. Ini adalah fakta sejarah, ungkap dokumen tersebut. Saat ini, banyak dari etnis Uighur yang tidak menganut agama Islam, atau tidak menjalankan praktik beragama sama sekali.
Selain pertimbangan sejarah, yang harus diperhatikan dalam melihat isu Uighur adalah konteks geopolitik global. Isu Uighur sudah relatif terlalu jauh menjadi isu geopolitik. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa telah menjadikan isu Uighur sebagai instrumen untuk merusak citra China yang sedang menjadi primadona dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan. Hal tersebut terlihat dari narasi-narasi yang digunakan oleh media Barat dalam memojokkan China.
Gerbang dari apa yang secara resmi disebut sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Xinjiang, di China barat. (Foto: Reuters/Thomas Peter) |
Menurut Zuhairi Misrawi, analis pemikiran dan politik Timur Tengah di The Middle East Institute, sikap Barat tak berlaku bagi negara-negara Timur Tengah. Sikap negara-negara Timur-Tengah terhadap China dalam menyikapi perlakuan terhadap Muslim Uighur justru sangat positif. Negara-negara Timur-Tengah memilih untuk mendukung pemerintah China, atau setidak-tidaknya netral dan ingin menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Muslim Uighur.
Pada Juli lalu, dalam sebuah voting yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada dua kelompok dalam menyikapi masalah Muslim Uighur. Kelompok pertama, sebanyak 22 negara meminta China agar mengakhiri sikap tidak manusiawi terhadap Muslim Uighur, dan sejumlah kelompok minoritas lainnya. Berikutnya, kelompok kedua, ada 37 negara yang justru mendukung China dalam melawan kelompok separatis dan kelompok teroris.
Di antara negara-negara yang mendukung itu adalah Timur-Tengah. Mereka yang mendukung China dalam masalah Muslim Uighur jauh lebih besar daripada yang menentang. Bahkan Erdogan, Presiden Turki secara blak-blakan menyatakan, jika ada negara yang ingin mengganggu China, maka ia akan berada di garda terdepan membela China. Erdogan sadar betul bahwa isu Uighur tidak murni sebagai pembelaan terhadap hak asasi manusia, melainkan juga terkait pertarungan global yang disertai dengan perang dagang dan tirani negara adidaya.
Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab juga berpandangan senada. Pemerintah China mempunyai hak untuk menyelesaikan masalah separatisme dan terorisme di dalam negeri. Sudah menjadi dalil sahih dengan sanad yang terpercaya, ada jumlah besar warga Muslim Uighur yang terlibat dalam gerakan terorisme global, seperti al-Qaeda dan ISIS. Bahkan, mereka kerap melakukan aksi-aksi terorisme yang dapat mengancam keamanan dalam negeri China sendiri.
Hal tersebut juga dialami oleh negara-negara Timur-Tengah yang sedang mengalami masalah tumbuhnya kelompok-kelompok teroris yang akan mengancam keamanan dalam negeri. Negara-negara Timur-Tengah sedang mengalami masalah serupa dengan China, yaitu mereka yang ingin mendirikan negara dalam negara.
Maka dari itu, negara-negara Timur-Tengah sangat tegas terhadap al-Qaeda, ISIS, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslim. Di Mesir misalnya, seluruh warga yang terindikasi dengan Ikhwanul Muslimin langsung ditangkap dan dipenjara. Mantan pemain Timnas Mesir, Mohammad Abou Treka harus eksodus ke Qatar karena diduga terlibat dan ikut mendanai gerakan Ikhwanul Muslimin. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pun tidak memberikan toleransi terhadap Ikhwanul Muslimin.
Langkah China dalam membuka diri terhadap negara-negara Muslim untuk melihat langsung apa yang terjadi di Xinjiang telah membangun opini yang berbeda dari apa yang diberitakan oleh media-media Barat selama ini. Kita tahu, apa yang dilakukan AS dan Eropa tidak sepenuhnya benar. Ada udang di balik batu. Ada kepentingan geopolitik di balik sikap mereka.
Harus diakui, ada masalah yang dialami oleh Muslim Uighur, tetapi hal tersebut harus digambarkan secara berimbang. China mempunyai kedaulatan untuk menyikapi masalah separatisme dan terorisme. Kita apresiasi sikap China yang perlahan mulai mengambil langkah-langkah manusiawi. Namun, hal-hal yang masih bermasalah seyogyanya segera diperbaiki, sehingga Muslim Uighur di masa mendatang diperlakukan lebih manusiawi.
Dikutip dari : https://www.matamatapolitik.com/
Judul : Di Balik Sikap Bungkam China atas Uighur
Penulis: Virdika Rizky
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Seorang aktivis protes atas perlakuan China kepada Uighur di Xinjiang saat pengadilan bos Huawei Meng Wanzhou di Vancouver, Kanada. Marah atas istilah “kamp konsentrasi” yang dilontarkan Amerika Serikat, China menikatkan tekanannya kepada etnis Uighur di bulan Ramadan. (Foto: Reuters/Lindsey Wasson)