Di tengah ketatnya iklim persaingan usaha dan produk di pasaran global, salah satu upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun ekonomi sebuah negara dapat dilakukan dengan jalan menyediakan wasilah literasi keuangan.
Sebagaimana kita tahu, sokoguru ekonomi Indonesia adalah sistem koperasi yang berasaskan kekeluargaan. Indonesia tidak mengenal sistem kapitalis yang tergantung pada kekuatan salah satu pemodal. Indonesia dikenal dengan sistem ekonominya yang dibangun dengan asas gotong royong yang mana beban peningkatan bidang ekonomi tersebut merupakan tanggung jawab bersama warga negara.
Sebagai upaya sistematisasi tanggung jawab bersama, dengan modal yang diperoleh dari sektor keuangan publik ini, upaya memperkuat jalinan trilogi keuangan berlaku, yaitu literasi keuangan, inklusi keuangan, dan perlindungan konsumen. Dalam kajian fiqih, trilogi keuangan ini mungkin tepatnya dibahasakan sebagai pengenalan akad muamalah, kreatifitas akad syariah, dan dhaman (pertanggungan risiko).
Tujuan utama literasi keuangan berfokus pada upaya menyediakan informasi kepada masyarakat perihal sarana apa saja yang dapat digunakan masyarakat untuk mengamankan dan menyalurkan dana yang dimilikinya. Jika dulu, upaya mendirikan sebuah usaha dimulai dari jalinan kerja sama dengan pihak-pihak yang menjadi kenalan. Di era modern, model penyediaan modal ini tidak tergantung pada perkenalan, melainkan lintas batas wilayah atau teritori. Kecakapan dalam menggali informasi menjadikan masyarakat semakin mudah mengakses kanal-kanal yang menyediakan modal bagi usahanya.
Hal yang sama juga berlaku bagi kalangan investor. Mereka dengan bebas dapat memilih ruang kerja sama yang dipandang aman bagi investasinya. Dalam kondisi seperti ini, maka tingkat amanah dari seorang pengelola modal (manajer investasi) sangat dibutuhkan untuk menjaga sustainabilitas kerja sama usaha tersebut sehingga dapat menghasilkan keuntungan tidak hanya bagi pelaku usaha (UMKM) melainkan juga investor.
Wilayah yang harus dibina dan dikembangkan mencakup lintas batas teritori pemodal dan usahawan. Oleh karenanya, dalam inklusi keuangan, dibutuhkan keberadaan sektor penjamin dana. Untuk itu kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dituntut berperan aktif dalam memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat pemodal tersebut. Tujuannya, sekali lagi adalah keamanan dana masyarakat.
Beberapa kasus investasi bodong yang terjadi merupakan cambuk bagi kebutuhan peran Satgas Waspda Investasi OJK sebagai bagian dari kepanjangan tangan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan wawasan kepada masyarakat tentang ruang inklusi keuangan yang aman.
Kehadiran fintech (financial technology) juga merupakan ruang lain yang perlu mendapat pengawasan. Memang sudah banyak yang dilakukan oleh OJK dengan Satgas Waspada Investasi. Tetapi, seiring rendahnya daya akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat kita, literasi ini tampaknya belum tersampaikan di kalangan bawah masyarakat. Perlu adanya upaya sosialisasi mengenai ciri dan karakteristik perilaku usaha yang nakal sehingga mengurangi tingkat kerugian masyarakat akibat modalnya dibawa lari oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Sejumlah regulasi sebenarnya juga sudah dikeluarkan oleh OJK, seperti aturan bahwa setiap Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) harus memiliki izin usaha mengumpulkan dana masyarakat. Tetapi, mencuatnya beberapa kasus investasi bodong yang berhasil diungkap oleh kepolisian secara tidak langsung menunjukkan kecolongan aparat penegak hukum. Belum lagi kasus money game yang hingga detik ini masih sering terjadi.
Penulis sendiri beberapa kali sempat terjun di kalangan masyarakat pedesaan. Mereka sering menjadi korban dengan modus utama tawaran reward besar yang dijanjikan oleh kalangan tertentu dari pelaku usaha jasa keuangan. Modus operasinya masih memberikan nuansa pola tradisional penipuan di bidang keuangan, jauh dari unsur modern. Masyarakat kita di kalangan pedesaan ini masih mudah diiming-imingi dengan janji penghasilan tanpa kerja itu. Padahal tidak ada produk yang memperantarai. Inilah bagian dari garapan dan tugas berat dari OJK selaku pemegang hak ri’ayah utama dalam memberikan literasi keuangan itu.
Sebenarnya, inti utama dari gerakan trilogi keuangan ini adalah upaya menjamin dana masyarakat agar disalurkan ke sektor keuangan dengan tepat. Alhasil, rekomendasi yang harus diberikan kepada mereka adalah memeriksa terlebih dulu, apakah dana mereka ada penjaminnya atau tidak. Ciri khas penjaminan dana itu adalah manakala ada keterlibatan OJK di dalamnya. Tanpa itu, maka kepercayaan penyaluran sektor keuangan masyarakat, tergantung pada individu masyarakat.
Kasus investasi perumahan syariah dan masih banyak kasus-kasus investasi lain, baik konvensional maupun syariah, yang baru saja diungkap ini adalah contoh gambaran dari perilaku usaha yang melakukan publikasi lebih menarik dari publikasi perlunya “waspada investasi” aparat. Mereka menawarkan bebas riba dengan lepas dari perbankan. Namun sejatinya, lepas dari pengawasan perbankan ini justru adalah salah satu pintu masuk bagi penyalahgunaan investasi.
Jika investasi yang dijamin dan melalui perbankan saja masih rawan kecolongan, maka bagaimana mungkin yang tanpa jaminan justru lebih aman? Kecuali kalau dengan tetangga sendiri, masih dimungkinkan untuk menagihnya. Ini pun bukan tanpa risiko. Lalu kalau dengan perusahaan yang berada di wilayah luar teritori investor individu, bagaimana mau menagihnya?
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Artikel Ini Telah Dimuat: NU Online