Muslim Uighur, Konflik dan Kepedulian

Share:

Siapa Etnis Uighur

Warga Uighur adalah kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam, dan terutama berbasis di wilayah Xinjiang, di barat laut China.

Mereka cenderung memiliki lebih banyak kesamaan budaya dengan orang-orang di negara-negara Asia Tengah dibandingkan etnis Han di China. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki dan juga memiliki kesamaan dengan bahasa Uzbek, Mongol, Kazakh, dan Kyrgyz.

Islam adalah bagian penting dari identitas mereka. Sebagian besar mempraktekkan bentuk moderat dari ajaran Sunni, dan beberapa meneladani aliran Sufi. Lebih dari itu, orang Uighur cenderung memiliki lebih banyak ciri fisik Mediterania dibandingkan karakteristik Han China.

Sensus penduduk China pada 2010 menempatkan jumlah penduduk Uighur, berada lebih dari 10 juta jiwa, yakni kurang dari 1 persen dari total populasi Negeri Tirai Bambu. Meski begitu, mereka adalah kelompok etnis terbesar di wilayah otonomi Xinjiang.

Wilayah Xinjiang

Xinjiang berada di bawah kekuasaan China sejak Abad ke-18. Wilayah ini mengalami periode kemandirian yang singkat di tahun 1940-an, tetapi Beijing kembali mendapat kontrol ketika Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.

Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Hingga saat ini, penduduk Xinjiang didominasi oleh orang Uighur, tetapi masuknya etnis Han ke wilayah itu, kian memicu ketegangan di antara kedua kelompok.

Xinjiang kaya akan sumber daya alam, dan ekonominya sebagian besar berputar di sekitar pertanian dan perdagangan. Kota-kotanya pernah menjadi titik penghentian utama di sepanjang Jalan Sutra yang terkenal di masa lampau.

Kenapa Terjadi Konflik

Terdapat beberapa hal mendasar sebagai penyebab konflik antara Beijing dengan etnis Uighur atau orang-orang Muslim Uighur yang berakar sejak dua abad lalu :

1. Pemeritah China Curiga Etnis Uighur Pemberontak

Nasib malang suku Uighur berawal saat perang dunia pecah. Saat itu warga Xinjiang, termasuk Uighur, berusaha bergabung dengan Soviet.

Namun, usaha mereka tak berhasil karena pasukan nasionalis kiriman Beijing akhirnya kembali memaksa warga Uighur bertahan dalam wilayah kedaulatan RRC pada 1949.
Sejak itu, warga Uighur dicap punya kecenderungan 'memberontak' oleh petinggi di Beijing. Kebijakan ekonomi China yang mengutamakan etnis Han makin memperburuk suasana.

2. Curiga Uighur Ingin Lepas dari RRC

Pemerintah China juga menaruh rasa curiga pada suku Uighur. Mereka dianggap ingin melepaskan diri dari RRC. Ditambah lagi muncul isu diskriminasi dari lembaga Human Right Watch yang mengatakan lebih dari 10 juta suku Uighur dipersulit untuk membuat paspor.
Jika warga Han dengan mudah melenggaang ke luar negeri, petugas imigrasi mewajibkan mereka menyerahkan puluhan dokumen serta wawancara untuk memeriksa ideologi politik mereka.

3. Dituduh Masuk Jaringan Teroris

China kembali bersikap keras terhadap etnis Uighur karena dianggap rentan terpapar radikalisme. Sebab, sejumlah kelompok perwakilan etnis Uighur dianggap tidak sejalan dengan pemerintah China.
Organisasi yang menjadi target China adalah Kongres Uighur Dunia (WUC) dan Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur (ETIM). Yang terakhir bahkan dianggap sebagai kelompok teroris oleh China. 

Dengan gelombang kelompok radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dikhawatirkan tersebar di kalangan Uighur, pemerintah China wajar jika merasa cemas. Meski sampai saat ini belum ada data pasti berapa jumlah etnis Uighur yang bergabung dengan ISIS.
Akibat diskriminasi tersebut, banga Uighur menyerang balik bangsa Han. Sasaran utamanya adalah para aparat dari etnis Han.

Serangan paling keras terjadi pada Januari 2007. Diperkirakan ada 18 suku Uighur ditembak mati dengan tuduhan bergabung dengan jaringan teroris internasional.
Bahkan ada kabar serangan militer ke beberapa kampung yang dituding sebagai sarang teroris. Namun, hal itu dibantah oleh birokrat Partai Komunis yang masih berkuasa di China.

Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Konflik Uighur

Sampai saat ini, nyaris tidak ada negara atau organ internasional yang menyerukan mediasi atau intervensi terhadap kasus Uighur, termasuk Indonesia yang menyatakan kasus Uighur adalah urusan domestik China. Banyak dari negara-negara lain, termasuk negara-negara Muslim, yang memiliki kerja samadan hutang dengan China. Sehingga China bertindak rasional untuk meredam negara-negara tersebut—khususnya negara-negara Muslim, sebab Uighur bukanlah satu-satunya wacana self-determination di China. 

Tapi juga ada Taiwan dan Tibet. Bukan tidak mungkin jika satu di antara mereka lepas, yang lain juga akan melepaskan diri. Meski dalam kasus Taiwan, lebih jelas lagi karena terkait One China Policy (Kebijakan Satu China). Strategi geo-ekonomi ini dampaknya berhasil dan mampu membuat negara lain untuk berpikir tidak merusak hubungan dengan China.

Indonesia memiliki setidaknya tiga landasan mengapa isu Uighur perlu dicermati. Pertama, landasan Pembukaan UUD’45 dan Pancasila. Bahwa, untuk “..ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Seperti pernyataan Wapres Jusuf Kalla, bahwa Indonesia menolak penindasan terhadap HAM. 

Tentu setidaknya pernyataan tersebut adalah bukti Indonesia berdiri bersama mereka yang tertindas. Kedua, landasan keagamaan di mana mayoritas penduduknya Muslim dan sangat sensitif mengenai isu keumatan. Demonstrasi damai yang diadakan umat Islam di Indonesia mendorong pemerintah aktif menyuarakan keadilan bagi Muslim Uighur.

Ketiga, landasan politik luar negeri yang dianut, yaitu “bebas-aktif”. Indonesia dapat mendorong upaya damai dalampenyelesaian kasus Uighur menggunakan pendekatan dialogis. Sebagaimana telah dicontohkan dalam kasus separatisme di Aceh dan Papua. Tapi tetap pada koridor non-intervensi negara lain.

Namun perlu dipahami, bahwa isu Uighur adalah isu politik yang membutuhkan penyelesaian secara diplomatis—bukan isu kemanusiaan. Berbeda dengan kasus Rohingya yang mengalami kekerasan horisontal dan vertikal, kasus Uighur didominasi oleh negara yang menerapkan kebijakan tertentu serta dianggap merugikan etnis Uighur. Oleh sebab itu, bantuan dalam bentuk donasi amatlah tidak perlu. Umat Islam di Indonesia harus bisa membedakan mana isu politik dan mana isu kemanusiaan.

Lalu Bagaimana Caranya Peduli Terhadap Isu Ini?

Pertama, pelajari tentang mereka; sejarah, demografi, latar belakang konflik, mengapa Uighur bagian dari China, kaitan dengan etnisitas dan komunisme, hak-hak dasar yang dilanggar, serta kondisi terakhir di sana.

Kedua, adil dalam melihat situasi. Kasus Uighur bukanlah kasus agama. Tapi agama menjadi dampak dari kebijakan diskriminatif yang dialami oleh etnis Uighur yang mayoritas muslim. Hui yang Muslim tidak mengalami represi langsung seperti Uighur, sebab secara kultur, bahasa, dan sosial identik dengan Han.

Ketiga, bantu dengan menyebarkan ke publik mengenai diskriminasi, persekusi, dan segala kezaliman yang etnis Uighuralami. Tapi jangan menyebarkan hoaks atau berita palsu. Janganlah kecepatan jempol netizen lebih cepat dibandingkan kecepatan membaca.
Berita palsu yang diiringi glorifikasi terhadap narasi heroik agama, hanya akan memunculkan radikalisme atau kebencian terhadap kelompok lain. Justru ini semakin memberikan pembenaran bagi rezim komunis China, sama halnya ketika persekusi terhadap Uighur meningkat pasca 9/11.

Keempat, membentuk atau mendorong pressure group melakukan langkah-langkah diplomatis ke level yang lebih tinggi: level pemerintah. Isu Uighur adalah isu politik tingkat negara yang sudah pasti membutuhkan kekuatan diplomasi dalam penyelesaiannya.
Lihat bagaimana Dubes China untuk Indonesia melakukan roadshow ke organisasi massa Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama menepis isu yang dituduhkan kepada mereka. 

Sebab mereka paham bahwa ormas ini memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Muhammadiyah dan NU—dan juga ormas-ormas lainnya—adalahpressure group yang bisa menentukan pandanganpemerintah Indonesia terhadap China. Muhammadiyah, misalnya, tidak lama setelah isu Uighur terekskalasi di Indonesia, segera merilis pernyataan sikap. Sebagai individu pun juga bisa melakukan hal yang serupa.

Kelima, pahami bahwa kasus ini adalah masalah politik dan kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Uighur—juga minoritas lain. Bukan kasus kemanusiaan yang membutuhkan bantuan dana. Berbeda dengan kasus Suriah, Yaman, Rohingya atau Palestina, di mana jutaan manusia mengungsi dan membutuhkan uluran tangan. Uighur membutuhkan bantuan, tapi dalam bentuk yang berbeda. Akan sulit ditemukan kamp pengungsian, baik di dalam ataupun di luar Xinjiang. 

Sebab mereka bukanlah pengungsi, tapi pencari suaka politik. Etnis Uighur yang tinggal di Turki, Kirgiztan, Kazakhstan, Tajikistan, atau di sekitar negara Asia Tengah telah bermigrasi puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Migrasi besar-besaran pernah tercatat pada 1960, di mana lebih dari 60.000 etnis Uighur dan Qazaq keluar dari Xinjiang menuju negara-negara Asia Tengah (dulu masih Uni Soviet). Para migran atau pencari suaka ini butuh bantuan politis untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.


Sumber :
- https://republika.co.id/ Memahami Konflik Uighur di Xinjiang
- https://www.liputan6.com/ Ini Penyebab Ketegangan Etnis Uighur dan China
- https://www.liputan6.com/ Siapa Sebenarnya Etnis Uighur dan Mengapa Berkonflik dengan China?
- https://www.cnnindonesia.com/ Jejak Konflik Etnis Uighur dan Pemerintah China