Ihwal Pembentukan Omnibus Law

Share:
Pemerintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganggap regulasi yang terlalu banyak menghambat investasi. Regulasi tersebut menyebabkan terjadinya disharmoni dan tumpang-tindih di tataran operasional, serta merumitkan hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah. Untuk itu, jumlah regulasi harus dikurangi.

Pemerintah ingin membentuk omnibus law atau undang-undang yang merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang sekaligus. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah berencana merevisi 82 undang-undang dan 1.194 pasal dalam membentuk omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada Januari 2020 (Tempo.co, 20 Desember 2019). Omnibus law cipta lapangan kerja akan mencakup 11 kluster, dari penyederhanaan perizinan dan ketenagakerjaan hingga investasi dan proyek pemerintah.

Dalam pembentukan omnibus law tersebut, masalah izin lokasi, izin mendirikan bangunan (IMB), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), yang menjadi syarat investasi, akan dikaji ulang. Bahkan disebut-sebut berpotensi dihilangkan. Hal ini terjadi karena pemerintah beranggapan bahwa persyaratan tersebut menyebabkan inefisiensi proses yang menghambat investasi.

Secara normatif, rencana pembentukan omnibus law tersebut memang bukan suatu hal yang terlarang. Terlebih bila mengingat bahwa saat ini Indonesia memang tengah mengalami kelebihan regulasi. Omnibus law adalah konsep yang tepat untuk menyederhanakan jumlahnya. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pada masa pemerintahan Jokowi, hingga November 2019, telah terbit 10.180 regulasi. Rinciannya, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri.

Walaupun membentuk omnibus law adalah langkah yang tepat untuk menyederhanakan regulasi, bukan berarti pembentukannya tidak berpotensi menimbulkan masalah. Setidaknya terdapat beberapa masalah yang menyertainya. Pertama, penerapan omnibus law tersebut tidak diiringi dengan upaya menampung aspirasi publik yang baik. Prosesnya akan dikebut DPR dalam tiga bulan pertama pada 2019, tapi sampai saat ini publik belum terkonsolidasi dengan draf omnibus law yang akan diselesaikan dalam waktu dekat.

Pemerintah saat ini hanya menggunakan pendekatan sosialisasi untuk mencari legitimasi, bukan menampung aspirasi. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja tersebut seperti hanya diperuntukkan bagi investasi, padahal masalah investasi merupakan persoalan yang banyak bersinggungan dengan masyarakat, bahkan menyebabkan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kedua, semangat membentuk omnibus law masih sektoral dan tidak menyeluruh, sehingga potensi terjadinya ego sektoral dalam pembentukannya masih terbuka lebar. Masing-masing kementerian bahkan belum terkonsolidasi dengan baik untuk menyatukan ide pembentukan regulasi tersebut.

Ketiga, semangat merampingkan regulasi tidak diiringi dengan upaya membatasi pembentukan regulasi. Hal itu dapat dilihat dari jumlah rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada 17 Desember 2019, DPR mengesahkan Prolegnas Lima Tahunan (2020-2024) yang berisi 248 rancangan undang-undang. Dari 248 rancangan tersebut, terdapat 12 rancangan yang seharusnya bukan materi muatan undang-undang dan/atau ada beberapa rancangan yang seharusnya dirumuskan dalam satu rancangan malah dipecah menjadi beberapa rancangan.

Misalnya, Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi Agama Islam atau Rancangan Undang-Undang Sistem Transportasi Nasional dengan Rancangan Undang-Undang Transportasi Daring.

Bidang ekonomi dan investasi, yang menjadi prioritas pemerintah dalam membentuk omnibus law, juga menjadi sektor yang paling banyak memiliki rancangan dalam Prolegnas. Berdasarkan pengelompokan rancangan undang-undang prioritas yang dilakukan PSHK, bidang perekonomian dan investasi memiliki 87 rancangan atau 35 persen dari seluruh rancangan; adapun bidang politik, hukum, dan keamanan berjumlah 73 rancangan (29 persen); bidang pembangunan manusia dan kebudayaan sebanyak 64 rancangan (26 persen); dan bidang kemaritiman sebanyak 24 rancangan (10 persen).

Melihat persoalan di atas, yang perlu direnungkan, meski bertujuan baik, omnibus law jangan semata dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan investasi jangka pendek. Pembentukan omnibus law semestinya bermuara pada kesejahteraan rakyat.

Bila tujuan omnibus law untuk merampingkan regulasi tapi tidak disertai upaya membatasi pembentukan regulasi, hal itu hanya akan berakhir sia-sia. Penyederhanaan jumlah regulasi hanya bisa tercapai bila pembentukan regulasi baru dibatasi.

Karena itu, sebelum telanjur melangkah terlalu jauh, gagasan untuk membentuk omnibus law perlu kembali dikaji ulang. Jangan terburu-buru. Dengarkan dulu masukan publik, baru kemudian prosesnya dilanjutkan.

Dikutip dari : Tempo.co
Judul : Ihwal Pembentukan Omnibus Law
Gambar : Tempo.co
Penulis : Antoni Putra
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)