DI TENGAH kesedihan bencana banjir yang menelan korban meninggal dunia 53 orang dan 1 hilang per Sabtu (4/1/2020), kita disuguhi lawakan tidak lucu, atau istilah kawan-kawan saya di Bandung bodor garing.
Lawakan tak lucu itu adalah silang pendapat, silang lidah, dan perang badar hantu bernama normalisasi dan naturalisasi.
Bagi kita warga kota, tontonan lawak ini sungguh sebuah gambar absurditas kehidupan perkotaan, cerminan hubungan feodalistik elite dengan masyarakat kebanyakan di kota.
Dan Jabotabek sebagai tolok ukur gaya hidup dan hubungan vertikal sosial masyarakat Indonesia, menjadi tontonan nasional yang menyinggung intelektualitas kita. Padahal Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun pusing dengan dua kata tak sepadan ini. Normalisasi (n) adalah tindakan menormalkan kembali kepada keadaan atau hubungan yang biasa.
Sedangkan naturalisasi (n), adalah pemerolehan kewarganegaraan; dalam biologi dikenal sebagai gejala terjadinya penyesuaian tumbuhan yang berasal dari tempat lain dan menjadi anggota biasa masyarakat tumbuhan di tempat baru.
Lalu, apa hubungannya dengan sungai dan penderitaan warga kota?
Sungai adalah bagian sebuah sistem yang membentuk morfologi kota, berinteraksi, dan berevolusi dengan fenomena alamnya.
Di manapun kota-kota dunia, sungai bukan hanya membentuk masyarakatnya, tapi juga menjadi penentu awal mula pertumbuhan kota, kualitas ruang, maupun seberapa besar kota tersebut bertumbuh.
Bagaimana pun, kota harus dimengerti sebagai sebuah sistem kompleks dan heterogen. Hubungan antar masyarakat horizontal dan vertikal, menjadi pola dasar yang membentuk kota, sebagai hasil proses kognitif, sosial, lingkungan alam, dan mental dengan lingkungan fisik terbangunnya.
Karena itu, penanganan sungai kota, adalah sejatinya tindak afirmatif para manajer kota, baik pusat maupun daerah, yang akan selalu melibatkan warga langsung.
Dan ini bukanlah sesuatu yang baru, karena contoh literasi proses perencanaan di bantaran sungai sangat banyak di seluruh dunia. Jakarta tidak unik.
Dan ini bukanlah sesuatu yang baru, karena contoh literasi proses perencanaan di bantaran sungai sangat banyak di seluruh dunia. Jakarta tidak unik.
Mungkin para petarung politik kita senang menyadur atau menampilkan hal-hal yang seakan-akan "sesuatu banget".
Daylighting
Saya melihat yang coba mereka lakukan adalah adopsi proses daylighting sungai dan saluran. Daylighting adalah proses mengembalikan fungsi alami sungai dan saluran, setelah ditutupi oleh pembangunan fisik kota tak beraturan.
Kemudian saluran dan sungai tersebut dikumpulkan menyatu dengan infrastruktur utama penanganan banjir.
Daylighthing ini merupakan teknik untuk mengatasi run-off yang terhambat, mengatasi ancaman banjir bandang, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat.
Beberapa referensi menyimpulkan cara yang dilakukan termasuk merestorasi alam, dengan perbaikan saluran ke bentuk alami, dan merestorasi fisik dan arsitektural, dengan memperbaiki kualitas saluran, kualitas bangunan sekitar dan tata ruang.
Kemudian merestorasi budaya, yaitu meningkatkan kesadaran warga untuk menempatkan kembali sungai dan saluran sebagai bagian penting kehidupan kota yang vibrant.
Contoh paling epik dari kegiatan daylighthing tentunya adalah usaha Wali Kota Seoul Lee Myu-bak di Cheonggecheong, dengan menghilangkan bangunan, jalan dan infrastruktur fisik untuk membentuk saluran artifisial yang terhubung dengan sungai utama.
Wali kota yang kemudian menjadi Presiden Korea Selatan ini berhasil meremajakan kawasan yang semula sarat tindak kriminalitas, menciptakan micro-climate yang nyaman, mendatangkan puluhan ribu turis tiap hari, sambil menciptakan sistem pengatur banjir yang andal.
Banyak lagi proyek serupa yang berhasil di dunia, misalnya sungai Saw Mill di New York, kanal alam Fairburn and Parahiku di Auckland.
Negara Swiss terkenal dengan 30 tahun lebih budaya peremajaan sungai dihubungkan dengan saluran penangkal banjir utama di kota Zurich, dikenal sebagai bachkonzept, yaitu penanganan sungai dan saluran dalam rangka peremajaan kota.
Bagi perencana kota, usaha meningkatkan kelayakan dan kenyamanan hidup di kota, merupakan tujuan penting semua teknik lapangan.
Salah satu ujian berat kota-kota Indonesia, adalah belum ada contoh program revitalisasi bagian kota dalam bentuk peremajaan kota atau urban regeneration, yang berhasil menjadi contoh.
Kita "hampir" punya contoh dalam proyek MH Thamrin tempo hari, revitalisasi kawasan kecil Kalijodo. Namun sebagai kota dunia, kita belum pernah berhasil melakukan revitalisasi kota-kota dalam skala yang bisa berdampak signifikan.
Pekerjaan rumah pun masih banyak, karena kembali kita diingatkan bahwa pijakan hukum yang selalu dipakai UU Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 sangat terbatas dan tidak mengakomodasi peremajaan kota sebagai kegiatan utama perencanaan.
Otonomi daerah pun masih menyisakan masalah beragamnya kualitas dan kapasitas teknokrat pelaksana peremajaan kota.
Kita berharap elite dan teknokrat tidak terjebak memperparah debat kusir tak berujung. Dan fokus pada kerja riil, baik solusi teknokratik maupun legal formalnya. Karena air itu datang terus, dan akan kembali.
Harus kita sudahi kesewenang-wenangan melakukan terjemahan bebas dan peristilahan semantik oleh pelaku politik kita, yang nampaknya memang masih terlihat seolah ingin memelihara kebodohan di tengah-tengah kita.
Bodor garing!!!
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Judul : "Lawakan Tak Lucu Awal Tahun: Normalisasi versus Naturalisasi"
Penulis : Bernardus Djonoputro (Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan)
Editor : Hilda B Alexander