Penggunaan sel punca telah membuka jalan revolusi untuk mengatasi berbagai penyakit dan kerusakan jaringan tubuh. Namun, pengembangan sel punca embrionik yang mampu membentuk beragam tipe jaringan terbentur masalah etika. Karena itu, kini teknik pemrograman ulang sel manusia banyak dikembangkan.
Pada dasarnya, setiap organ dan jaringan tubuh dibentuk oleh sel-sel tertentu yang berasal dari sel punca. Dalam kehidupan kita, sel punca berperan dalam regenerasi organ dan jaringan yang rusak atau hilang setiap hari.
Boleh dibilang, sel punca adalah sumber dari semua sel di dalam individu, tidak terdiferensiasi dan bisa memperbanyak diri. Salah satu tipe sel punca adalah sel punca embrionik yang diisolasi dari bagian inner cell mass blastosis, tahap paling awal perkembangan manusia yaitu lima hari setelah pembuahan. Sel punca yang digambarkan sebagai pluripotent, mampu jadi semua jenis sel.
Sementara itu, sel punca dewasa adalah sel tunas yang diisolasi dari jaringan dewasa seperti sumsum tulang atau darah dan bisa memperbanyak diri, tetapi kemampuan diferensiasinya terbatas untuk menjadi jenis sel tertentu. Karena bisa menjadi beragam sel tubuh, sel punca bisa menyediakan jaringan untuk mengganti sel-sel yang rusak dalam terapi diabetes, jantung, dan penyakit lain.
Namun, sel punca dewasa dianggap kurang optimal hasilnya daripada sel punca embrionik dalam hal tipe jaringan yang bisa dibentuk. ”Akan tetapi, riset sel punca embrionik dihadapkan pada masalah etika karena embrio harus dihancurkan bila hendak diambil sel puncanya. Ini berarti menghilangkan satu kehidupan yang dimulai sejak pembuahan,” kata Ketua Komisi Bioetika Nasional Prof Umar Anggara Jenie.
Debat etika ini memacu penelitian untuk mendapat teknik pemrograman ulang dari sel somatik dengan faktor penentu sel punca pluripotensi. Menurut Perhimpunan Penelitian Sel Punca Internasional, pembuatan induced pluripotent cells (iPS) adalah cara lain menciptakan sel punca pluripotent. Sel punca embrionik dan sel iPS punya banyak kesamaan karakteristik, termasuk kemampuan jadi sel semua organ dan jaringan, tetapi keduanya tidak identik.
Selama ini para peneliti sudah berhasil memprogram ulang berbagai jenis sel tikus, antara lain sel hati dan sel epitel lambung. Jadi, sel fibroblast tikus dewasa telah diprogram ulang ke keadaan tidak terdiferensiasi yang menyerupai sel punca embrio. Hasilnya, sel iPS buatan ini terlihat sama dengan sel punca yang berasal dari embrio.
Tim peneliti dipimpin James Thompson dari Universitas Wisconsin Madison dan Shinya Yamanaka dari Universitas Kyoto Jepang menggemparkan dunia ketika berhasil membuat metode untuk memprogram ulang sel punca dewasa jadi pluripotent pada November 2007. Sel-sel ini disebut iPS Cells yang secara genetik dimodifikasi dengan memasukkan empat faktor transkripsi DNA penting dalam sel embrionik ke genom sel punca dewasa dengan memakai virus.
Tak lama kemudian, pada Desember lalu, George Daley dari Harvard Medical School di Boston, Massachusetts, dan rekan juga menunjukkan sel iPS dapat dibuat dari beragam sel dewasa. ”Pada banyak pasien, kami dapat menggunakan biopsi kulit untuk menstabilkan sel pluripotent,” kata Daley dalam situs Nature.
Namun, menurut Yuda Heru Fibrianto, peneliti sel punca dari Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, efisiensi dari pembentukan sel iPS relatif rendah. Ada kemungkinan penggunaan asal sel itu yang menyebabkan sel punca tidak berdiferensiasi secara tetap, integrasi retrovirus dalam tempat khusus tidak disyaratkan untuk induksi sel iPS.
Kini tim ilmuwan yang dipimpin Juan Carlos Izpisua Belmonte di Salk Institute for Biological Studies di La Jolla, California, berhasil meningkatkan efisiensi pemrograman ulang lebih dari 100 kali dan mempersingkat waktu proses. Mereka membuat sel iPS dari keratinosit (materi pembentuk lapisan terluar kulit dan protein pembuat rambut, kulit, kuku) yang ditempelkan pada rambut manusia.
Metode ini sederhana dan praktis untuk menciptakan sel punca demi terapi penyakit tertentu yang semula sulit dilakukan karena rendahnya efisiensi proses pemrograman ulang. Metode ini sekaligus menghindari prosedur pembedahan untuk mengumpulkan sel organ tertentu demi memperoleh sel punca.
Sel iPS memberi bukti nyata untuk pengobatan anemia sel dengan memakai model tikus. ”Metode iPS memberi janji yang diberikan sebelumnya oleh terapi kloning, yaitu tidak butuh pemakaian obat penekan kekebalan untuk mencegah penolakan dari sel transplantasi yang tak cocok, memperbaiki kelainan genetik, dan secara berulang mendiferensiasi sel iPS ke dalam tipe sel yang diinginkan untuk melanjutkan pengobatan,” kata Yuda.
Di Indonesia
Riset sel punca di banyak negara berkembang pesat dengan metode makin canggih. Di Indonesia, aktivitas riset yang memakai sel punca dewasa mulai dilakukan sejumlah lembaga swasta dan perguruan tinggi, antara lain Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Meski masih dalam tahap penelitian, pengobatan sel punca mulai dilakukan untuk mengatasi serangan jantung, osteoartritis, dan luka bakar.
Tim peneliti dari Unit Luka Bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, misalnya, meneliti keamanan dan efikasi dari aplikasi sel punca pada luka bakar derajat 2 atau kerusakan kulit yang melibatkan sebagian besar dermis.
Dalam riset itu, sel punca diambil dari tali pusat yang diisolasi dan diproses oleh Stem Cell and Cancer Institute (SCI). Menurut dokter spesialis bedah plastik dari FKUI/RSCM, dr Yefta Moenadjat, dari Unit Luka Bakar FKUI/RSCM, dalam proses penyembuhan luka, aplikasi sel punca mempersingkat fase inflamasi, memperbaiki fase fibroplasia dan mempercepat proses epithelialisasi pada daerah yang umumnya sulit terjadi.
Kini sejumlah peneliti juga tengah mengembangkan sel iPS disertai aplikasi preklinik maupun klinis sebagaimana dilakukan di Pusat Penelitian Sel Punca UGM.
”Kami juga akan membuat iPS universal sehingga didapatkan pluripotent sel punca yang siap pakai bagi siapa saja yang membutuhkan,” kata Yuda Heru Fibrianto dalam seminar yang diprakarsai Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI).
Selain bisa mengakhiri debat etika seputar sel punca embrionik dan potensi sebagai terapi masa depan, aplikasi sel iPS bukan berarti bebas masalah. Menurut Yuda, sejumlah rintangan yang dihadapi adalah, bagaimana menghindari gen berbahaya sebagai bagian faktor pemrograman ulang, mencegah penggunaan pengantar gen dari vektor retrovirus pembawa risiko masuknya mutagen. ”Yang juga penting adalah, bagaimana mengembangkan sel iPS manusia yang sehat dan kuat,” ujarnya.
take from : http://kesehatan.kompas.com