Oleh: Soedjati Djiwandono
Pokok persoalan yang hendak dibahas di sini adalah dapat atau tidaknya (feasibility), dan perlu atau tidaknya (desirability/necessity) dilakukan "restrukturisasi" Dewan Keamanan PBB, serta kemungkinan implikasinya. Tetapi istilah "restrukturisasi" itu perlu dimengerti lebih baik dalam kaitannya dengan "revitalisasi" dan "demokratisasi" PBB sebagaimana dituntut, misalnya, oleh KTT ke X GNB di Jakarta bulan September 1992, yang menyangkut PBB secara keseluruhannya. Perbandingan itu perlu bukan sekedar untuk menghindari kerancuan pengertian, tetapi juga karena restrukturisasi mungkin tidak dapat seluruhnya dilepaskan dari masalah revitalisasi, lebih-lebih demokratisasi.
Restrukturisasi bisa merupakan konsekuensi dari tuntutan revitalisasi, dan sepanjang hal itu menyangkut Dewan Keamanan PBB, saya kira masalah re-strukturisasi merupakan konsekuensi tuntutan demokratisasi. Lagi pula, kecuali mungkin tuntutan demokratisasi, gagasan dan usaha revitalisasi maupun restrukturisasi PBB secara luas yang menyangkut berbagai lembaga dalam tubuh organisasi dunia itu sudah lama berlangsung, bahkan sejak masa Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu PBB, jadi bukan semata-mata berasal dari prakarsa KTT X GNB di Jakarta. GNB sendiri hingga sekarang juga belum pernah memberikan pemikiran yang rinci tentang usul-usulnya untuk revitalisasi, restrukturisasi dan demokratisasi PBB.
Perbandingan itu juga untuk menunjukkan betapa rumit dan kompleksnya masalah pembaruan PBB dalam berbagai pengertiannya. Dalam sejarah PBB maupun Liga Bangsa-Bangsa, istilah yang pernah dipergunakan bagi perbaikan adalah reform atau "pembaruan".
Istilah reform atau "pembaruan" ini mengandung beberapa pengertian:
Perubahan struktur Sekretriat; nerubah denah organisasi; menghilangkan bagian-bagian yang tidak berguna; dan mengurangi jumlah pos-pos;
Penentukan prioritas-prioritas; menghentikan program-program yang usang; dan memperbaiki koordinasi;
Reorganisasi aparat (machinery) antar-pemerintahan agar lebih efisien dan lebih representatif. Reorganisasi itu sendiri memupunyai dua pengertian :
- Reorganisasi tanpa merubah Piagam, misalnya, revitalisasi ECOSOC (Economic and Social Council) dengan merubah agendanya atau hubungannya dengan Sidang Umum; menambah atau mengurangi keanggotaan berbagai komite dan menciptakan yang baru, atau menggabungkan beberapa yang ada;
- Restrukturisasi badan-badan utama, seperti Dewan Keamanan, ECOSOC, atau Sidang Umum, yang mengandung arti perubahan Piagam.
Menghadapi beberapa pengertian pembaruan itu, telah terdapat perbedaan dalam interpretasi antara negara-negara maju di satu pihak dan negara-negara berkembang di lain pihak.
Kelompok negara maju cenderung mengartikan pembaruan dalam arti 1, 2, 3(1). Mereka berpendirian bahwa efisiensi PBB merupakan masalah managemen. Sebaliknya, kelompok negara berkembang cenderung mengartikan pembaruan dalam arti memperluas kenaggotaan komite-komite, termasuk ECOSOC dan Dewan Keamanan. Ini berhasil dicapai dengan merubah Piagam, yaitu keanggotaan Dewan Keamanan dari 11 kini menjadi 15, dan untuk ECOSOC dari 18 menjadi 27, kini 54.
Beberapa negara berkembang mempergunakan pengertian 3(b), yang berarti restrukturisasi sebagian atau seluruh Piagam ke arah pengurangan keanggotaan ECOSOC, menggabungkannya dengan UNCTAD, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi, merubah hubungan antara PBB dan badan-badan khususnya, sertas memperluas keanggotaan Dewan Keamanan.
Salah satu perubahan yang paling penting dalam kegiatan PBB telah terjadi dengan diciptakannya pasukan penjaga keamanan (peace-keeping force) dalam bidang keamanan atas prakarsa Lester Pearson dari Kanada dan Dag Hammaskjold tahun 1956, tanpa menyentuh Piagam dan tanpa menyebut pembaruan. Sementara itu, "revitalisasi" berarti melaksanakan sepenuhnya ketentuan-ketentuan Piagam. Ini sebenrnya bukan merupakan pembaruan. Revitalisasi itu misalnya menyangkut Pasal 43 mengenai persetujuan-persetujuan tentang penyerahan pasukan militer kepada Dewan Keamanan, dan Pasal 47 tentang pelimpahan tanggungjawab utama pada komite staf militer seperti diusulkan oleh Boutros-Boutros Ghali.
Sejak awal, yaitu sejak Liga Bangsa-Bangsa, pembaruan biasanya berarti campuran dari pengertian 1, 2, dan 3(1). Tetapi selama hampir satu dasawarsa ini semakin dituntut restrukturisasi PBB yang menyangkut perubahan Piagam. Hampir tidak mungkin pada kesempatan ini menyebutkan semua komite antar-pemerintahan dan kelompok-kelompok ahli yang telah meneliti berbagai permasalahan seperti yang menyangkut metode kerja, kesulitan keuangan, kebijakan personalia, gaji, anggaran belanja, perencanaan, kemajuan sosial dan ekonomi, desentralisasi, koordinasi, struktur Sekretariat, fungsi badan-badan antar-pemerintahan, evaluasi kerja, dsb.
Secara garis besar dapat dibedakan antara dua periode. Yang pertama sejak awal hingga dasawarsa 1960-an, ketika prakarsa untuk perubahan datang terutama dari Sekretaris Jendral, misalnya agar Sidang Umum membentuk komite-komite untuk membantu Sekjen dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tahun 1954 dibentuk kelompok tiga ahli oleh Trygve Lie.
Komite peninjauan gaji tahun 1957 dan kelompok 8 ahli disetujui Sidang Umum tahun 1960 untuk membantu Dag Hammaskjold dalam menentukan struktur Sekretariat. Dan kelompok 8 yang diketuai oleh George Picot mempertimbangkan dan menolak usul Khrushchev untuk membentuk Troika untuk jabatan Sekjen.
Periode kedua mulai sejak meninggalnya Dag Hammaskjold, ketika prakrasa-prakarsa berasal dari negara-negara anggota. Jumlah komite dan survei untuk pembaruan semakin menjamur. Tahun 1968 misalnya, dibentuk Joint Inspection Unit (JIU) untuk meneliti bagaimana memperbaiki fungsi semua badan PBB. Setelah 25 tahun, JIU menerbitkan 200 laporan.
Pertengahan dasawarsa 1980-an masalah pembaruan dipacu terutama oleh kesulitan keuangan yang dihadapi PBB. Pendekatan negara-negara Barat pada masalah pembaruan PBB pada dasarnya bersifat managerial, misalnya, perampingan Sekretariat dan pengketatan anggaran. Dalam hubungan itu, Sekjen Boutros-Boutros Ghali telah menghapuskan tidak kurang dari 14 posisi Asisten dan Wakil Sekjen.
Sejak Perang Teluk awal tahun 1991, dan diperkuat oleh intervensi PBB di Somalia tahun 1992, PBB menjadi semakin populer di dunia Barat. Khususnya, peristiwa-peristiwa itu menaikkan gengsi Dewan Keamanan dan Sekjen PBB, kendati masih dilanda kesulitan finansial. Pada saat Dewan Keamanan kelihatan bertambah efektif, tuntutan akan pembaruan, terutama dalam bentuk restrukturisasi, mungkin merupakan tambahan kendala, di samping kendala-kendala lainnya, seperti akan dibahas di bawah.
Tuntutan Restrukturtisasi
Tuntutan akan restrukturisasi PBB terutama memang menyangkut khususnya Dewan Keamanan, badan yang paling penting, paling berperanan dan paling berkuasa, sebab itu paling berpengaruh dan paling bergengsi. Badan inilah yang bertanggungjawb atas masalah-masalah keamanan internasional yang menjadi tujuan utama dibentuknya PBB. Dan Dewan Keamanan merupakan satu-satunya badan PBB yang keputusan-keputusannya mengikat semua negara anggota.
Di atas telah dikatakan bahwa sejak Perang Teluk dan intervensinya di Somalia, PBB, khususnya Dewan Keamanan dan Sekjen, bertambah popularitas dan gengsinya. Sebab utamanya adalah bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin, untuk pertama kalinya dalam Dewan itu dapat tercapai kesepakatan atau konsensus antara negara-negara anggota tetap yang sebelumnya terlibat permusuhan, untuk terlibat bersama menghadapi sesuatu konflik yang dianggap mengancam perdamaian dan keamanan internasional, seperti dimaksudkan oleh Piagam PBB dalam bentuk tindakan keamanan bersama (collective security).
Di lain pihak, apa yang dapat digambarkan sebagai "kebangkitan kembali" Dewan Keamanan itu telah menonjolkan adanya jurang perbedaan dalam hal kedudukan, hak dan wewenang antara Dewan itu dan negara-negara anggota yang tidak terwakili di dalamnya, dan antara kelima negara anggota tetap di satu pihak dan negara-negara anggota tidak tetap di lain pihak, terutama karena hak veto yang dimiliki oleh negara-negara anggota tetap. Ini telah memicu tuntutan-tuntutan agar komposisi keanggotaan Dewan Keamanan tidak lagi didominasi oleh negara-negara "pemenang perang" (Perang Dunia II), tetapi hendaknya lebih mencerminkan dunia yang nyata dewasa ini. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tuntutan restrukturisasi Dewan Keamanan sebenarnya merupakan juga tuntutan atau berdasarkan tuntutan demokratisasi PBB.
Tuntutan akan perubahan seperti itu tidak akan mudah apa lagi cepat-cepat terpenuhi, karena menurut Piagam PBB, hal itu harus mendapatkan persetujuan masing-masing dari kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan. Tetapi tulisan ini tidak hendak membahas aspek yuridis kemungkinan restrukturisasi. Titik berat pembahasan di sini akan diletakkan lebih pada segi politis.
Ketika Dewan Keamanan relatif tidak efektif selama Perang Dingin, tuntutan untuk merombak komposisi keanggotannya tidak banyak. Perkecualiannya adalah usaha yang berhasil tahun-tahun 1963-65 untuk menambah jumlah negara anggota tidak tetap daru 6 menjadi 10 seperti sekarang. Tahun 1979 India mengusulkan agar jumlah negara anggota tidak tetap ditambah dari 10 menjadi 14, yaitu dengan tambahan dua dari kelompok Afrika (sehingga jumlah total menjadi 5), dan masing-masing satu dari kelompok Asia dan Latin Amerika (sehingga masing-masing menjadi 3). Kecuali Cina, semua negara anggota tetap Dewan menolak usul itu.
Mudah dimengerti jika pembahasan tentang kemungkinan perubahan komposisi keanggotaan Dewan Keamanan berpusat pada masalah keanggotaan tetap dengan hak vetonya. Hingga kini Jepang dan Jerman nampaknya secara luas dianggap pantas menjadi anggota tetap, meskipun beberapa negara lain telah sering disebut-sebut, khususnya India, Indonesia, Brazil, Mexico, Nigeria, dan Mesir.
Dalam hal Jepang dan Jerman, terlepas dari masalah hak veto, harus dilakukan perubahan pada pasal 53, khususnya ayat (2), yang menggolongkan kedua negara itu sebagai "enemy state", yaitu "any state which during the Second World War has been an enemy of any signatory of the present Charter".
Suatu usulan tidak resmi pernah diajukan oleh Menlu Italia untuk menggantikan Inggris dan Perancis sebagai anggota tetap Dewan Keamanan dengan Jepang dan wakil Masyarakat Eropa. Tetapi gagasan ini sulit dilaksanakan.
Pertama, akan ada kesulitan bagi Masyarakat Eropa mengkoordinasikan politik luar negeri.
Kedua, Inggris dan Perancis gigih memertahankan statusnya sebagai anggota tetap, yang merupakan simbol peranan mereka dalam politik dunia.
Dan ketiga, usulan itu belum menampung aspirasi negara-negara Dunia Ketiga. Usul lain diajukan oleh Brazil, untuk menambah jumlah negara anggota tetap tanpa hak veto. Satu risiko dalam memperluas keanggotaan Dewan Keamanan adalah bahwa pengambilan keputusan akan menjadi lebih sulit. Anehnya, gagasan tentang perombakan komposisi anggotaan Dewan Keamanan, yang umumnya berarti perluasan keanggotaan, justru muncul lebih kuat pada saat Dewan itu kelihatan dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Ini menjelaskan kecenderungan menentang usulan-usulan perubahan, terutama oleh pihak negara-negara anggota tetap.
Hal itu dapat dimengerti. Dewan Keamanan harus dapat secara cepat menanggapi ancaman-ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Penangguhan dalam mengambil keputusan mengandung risiko bahwa respons terhadap ancaman seperti itu akan terlambat. Ini akan membuat negara-negara besar enggan membuang-buang waktu dan tenaganya untuk bergerak melalui Dewan Keamanan, dan mungkin cenderung memilih tindakan unilateral. Sebab itu masalahnya adalah bagaimana mengusahakan agar setiap usaha perubahan atau restrukturisasi Dewan Keamanan perlu memenuhi dua persyaratan.
Pertama, restrukturisasi itu hendaknya mencerminkan secara lebih tepat pola hubungan antar negara yang sedang berlangsung secara global. Dengan demikian Dewan Keamanan akan menjadi lebih "demokratis" dan memperoleh legitimasinya yang lebih kuat dan mapan. Faktor ini pen-ting, karena efektivitas Dewan Keamanan tergantung pada kerjasama dan komitmen negara-negara anggota PBB yang lain untuk melaksanakan keputusan-keputusannya yang bersifat mengikat. Inilah kiranya yang dimaksudkan oleh pernyataan Sekjen Boutros-Boutros Ghali bahwa "agreement among the permanent members must have the deeper support of the other members of the Council, and the memberhsip more widely, if the Council's decisions are to be effective and endure".
Jika persyaratan itu kurang dipenuhi, seperti halnya Dewan Keamanan hingga sekarang ini, hal itu akan memperkuat citra Dewan Keamanan, kalau sebelumnya selama Perang Dingin sebagai klik dan dominasi Barat, khususnya AS, kini dapat menimbulkan citra Dewan sebagai kondominium negara besar yang hendak mempertahankan dominasinya dan mengatur dunia. Sejak Perang Teluk, dengan kelemahan Rusia (waktu itu masih Uni Soviet) dan RRC, sebenarnya citra Dewan Keamanan sebagai didominasi AS menjadi kuat lagi, bahkan lebih daripada selama Perang Dingin.
Kedua, restrukturisasi itu hendaknya sekaligus juga sejauh mungkin menghindari berkurangnya efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan.
PBB & Tatanan Dunia
Masalah yang paling crucial dalam hal restrukturisasi, yaitu dalam bentuk perubahan komposisi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, adalah masalah hak veto. Inti persoalannya adalah, apakah tambahan anggota tetap Dewan itu, jika memang masalah penambahan itu terselesaikan, juga akan memiliki hak veto? Lebih lanjut dapat dipersoalkan, apakah hak veto itu memang perlu atau berguna, khususnya dalam era pasca Perang Dingin? Sebelumnya, dan terutama selama Perang Dingin dengan perkembangan persenjataan nuklir, hak veto itu memang telah bermanfaat untuk menghindari perang dunia, yang pasti akan berarti perang nuklir, seperti akan dibahas lebih lanjut di bawah. Bagaimana pun juga, hak veto yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan itulah, yang jelas merupakan hak istimewa, kiranya yang terutama memberikan citra ketidak-adilan dan betapa tidak demokratisnya PBB. Ini yang telah menjadi dasar tuntutan demokratisasi.
Tetapi perlu diingat, bahwa PBB adalah ciptaan negara-negara pemenang perang (the big three, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet, dan kemudian the big five, dengan tambahan Perancis dan Cina. Sebenarnya di medan Eropa dalam Perang Dunia Kedua, sulit menyebut Perancis dan Cina sebagai "pemenang perang". Dan di medan Pasifik, sebenarnya Amerika Serikat merupakan satu-satunya pemenang perang, yaitu terhadap Jepang. Sebab itu Perancis dan Cina di Eropa, dan Perancis, Ingris, Cina dan Uni Soviet di Pasifik, lebih tepat kalau dikatakan "ikut menang" karena kelima negara itu merupakan sekutu-sekutu selama Perang Dunia Kedua. Kelima negara besar dan pemenang perang itulah yang dianggap memikul tanggungjawab utama, yaitu yang berada dalam posisi menentukan perang atau damai di dunia pasca Perang Dunia Kedua. Dengan demikian PBB yang mereka ciptakan merupakan cermin atau refleksi "tatanan dunia" pasca Perang Dunia Kedua yang demikian itu.
Jalan pemikiran dibalik hak veto kelima negara besar pemenang perang yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang keputusan-keputusannya mengikat semua negara anggota kira-kira adalah demikian: Konsensus antara kelima negara itu diperlukan untuk menghindari perang. PBB tidak dapat memaksakan keputusannya yang menyangkut sesuatu konflik pada salah satu negara besar yang tidak menyetujui keputusan itu karena kepentingannya atau kepentingan sekutunya terlibat dalam konflik itu. Dengan kata lain negara besar itu menjadi pihak dalam konflik itu. Itu prinsipnya.
Pada tahun-tahun pertama usia PBB tentu hal itu mungkin tidak berlaku, kecuali pada Amerika Serikat, yang pada akhir Perang Dunia Kedua menjadi satu-satunya negara besar yang masih memiliki kemampuan militer yang tangguh. Tetapi dalam situasi Perang Dingin yang kemudian berkembang, dan dengan perkembangan persenjataan nuklir, prinsip itu menjadi lebih penting. Aliansi Perang Dingin dengan adanya kubu Timur dan Barat masing-masing di bawah pimpinan Uni Soviet dan AS, membuat pola hubungan negara besar, dan dengan demikian tatanan dunia pasca Perang Dunia Kedua, didominasi oleh dua negara super itu, yang masing-masing semakin memiliki kemampuan militer yang dapat menghancurkan dunia.
Bipolarisasi telah menandai tatanan dunia Perang Dingin, yang tercerminkan dalam Dewan Keamanan PBB, yang didominasi oleh Uni Soviet sendirian di satu pihak, dan Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya di lain pihak. Kubu AS (blok Barat) ini meliputi Taiwan, yang menduduki kursinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan hingga digantikan oleh RRC awal 1970-an. Tetapi RRC masuk Dewan Keamanan menggantikan kedudukan Taiwan setelah terjadi konflik dengan Uni Soviet, jadi bukan lagi sebagai sekutu Soviet yang memperkuat kubu atau blok Timur (komunis). Meskipun demikian, RRC juga bukan sekutu AS/Barat, dan cenderung lebih independen dalam strategi dan politik luar negerinya. Meskipun demikian, kemampuan militer RRC masih terbatas, sehingga selama Perang Dingin, secara strategis tatanan dunia tetap merupakan bipolarisasi. Hanya AS dan Uni Soviet tetap merupakan negara super dengan kemampuan militernya yang berimbang dan sama-sama dapat menghancurkan dunia. Dua negara super itulah yang menentukan perang atau damai, yang menentukan nasib dunia. Sebab itu, PBB, khsusunya melalui Dewan Keamanan, dijuluki "government by superpowers".
Selama Perang Dingin, propaganda Barat berhasil menciptakan citra Uni Soviet sebagai bad guy, sedangkan AS dkk. sebagai good guys, karena begitu seringnya Uni Soviet mempergunakan hak vetonya. Tetapi dengan konstelasi atau komposisi keanggotaan Dewan Keamanan saat itu, bagi Uni Soviet yang sendirian saja seperti disinggung di atas, veto merupakan satu-satunya jalan, atau sekurang-kurangnya jalan yang paling efektif untuk menjaga kepentingannya ataupun kepentingan sekutu-sekutunya, karena baginya sangat sulit memenangkan suara mayoritas dalam Dewan Keamanan. Sebaliknya, AS ataupun sekutu-sekutunya jarang sekali berada dalam posisi yang memaksanya mempergunakan hak veto, karena dalam kebanyakan masalah, tidak terlalu sulit memenangkan suara mayoritas. Uni Soviet boleh dikatakan "kebobolan" ketika AS berhasil menggiring campur tangan PBB di Korea tahun 1950, karena saat itu Uni Soviet sedang memboikot persidangan PBB, karena masalah perwakilan Cina. Dengan absennya Uni Soviet, AS tidak menghadapi rintangan lagi. Dapat dibayangkan, bahwa andaikata Uni Soviet saat itu hadir, mungkin cerita Korea akan berbeda. Uni Soviet akan dapat membela Korea Utara, dan campur tangan PBB mungkin akan terhindarkan karena kemungkinan besar Uni Soviet akan menggunakan hak vetonya.
Dan jika PBB memaksakan kehendaknya (kehendak AS) pada Uni Soviet, tidak mustahil sudah pecah Perang Dunia Ketiga. Sebab itu hak veto merupakan "katup pengaman" atau safety valve.
Sebab itu, sekurang-kurangnya Perang Dingin tidak berkembang menjadi perang dunia, karena hak veto mempertahankan, tidak merusak, perimbangan kekuatan antara kedua negara super.
Perimbangan kekuatan atau perimbangan strategis ini (strategic balance, strategic parity, yang sering juga dijuluki balance of terror), yang sebenarnya mencegah perang antara kedua negara super, yang pasti akan berarti perang nuklir yang dapat menghancurkan seluruh dunia dan umat manusia. Itulah tatanan dunia Perang Dingin yang telah disebutkan di atas, dan yang tercerminkan dalam PBB, khususnya Dewan Keamanan. Jadi tiadanya perang dunia selama Perang Dingin disebabkan oleh rasa takut pada masing-masing pihak akan kekuatan balasan oleh yang satu terhadap yang lain, karena masing-masing memiliki apa yang disebut sebagai second-strike capability, artinya kekuatan yang pasti untuk membalas dengan daya menghancurkan, bukan saja lawannya, tetapi juga seluruh dunia bahkan setelah diserang lebih dulu dengan first strike atau yang disebut juga pre-emptive strike.
Kepastian ini yang dinamai mutually assured destruction (MAD).
Hubungan kedua negara super akhirnya memang terpusatkan pada hubungan strategis yang ditandai oleh perimbangan kekuatan strategis tadi, yang berintikan MAD. Memang secara ideal, perdamaian dunia seharusnya tidak sekedar berarti tiadanya perang. Saya tidak hendak membahas lebih lanjut masalah pengertian "perdamaian" dalam tulisan ini. Tetapi sekurang-kurangnya, perdamaian seperti itulah yang didambakan oleh PBB sebagai tujuan utamanya, sebagaimana dinyatakan dalam Piagamnya.
Dapat dipersoalkan, apakah dengan tiadanya tatanan dunia dalam bentuk bipolarisasi Perang Dingin, hak veto masih mempunyai fungsi yang bermanfaat sebagai pencegah perang? Perang Teluk telah dipuji sebagai berfungsinya Dewan Keamanan karena tidak terhalang oleh veto. Sebab itu PBB dapat melakukan tindak kekerasan terhadap Irak. Atau mungkin lebih tepat AS dapat memperggunakan PBB (lewat Dewan Keamanan) sebagai payung multilateral (dunia) untuk membenarkan serangannya terhadap Irak. Tetapi peperangan bukan sekedar masalah yuridis, syah atau tidak syah. Dengan kata lain, buyarnya Uni Soviet dengan empiriumnya dan dengan demikian (dari kacamata Barat) hilangnya "ancaman Soviet", Perang Dingin telah berakhir. Dunia berubah tatanan dari bipolarisasi menjadi dunia monopolar, didominasi oleh satu-satunya negara super yang masih tinggal, yaitu Amerika Serikat. Itulah yang tercerminkan dalam PBB, khususnya Dewan Keamanan, dewasa ini.
Apakah tatanan seperti itu yang diinginkan oleh umat manusia dan dunia?
Tetapi kalaupun bukan tatanan yang demikian yang didambakan dunia, perubahan tidak akan terjadi dengan merombak PBB, baik melalui restrukturisasi maupun demokratisasi. Seperti telah disebutkan, PBB adalah cermin tatanan dunia yang ada. Jadi dominasi PBB oleh AS, melalui dominasinya di Dewan Keamanan, memang merupakan cermin atau refleksi tatanan dunia pasca Perang Dingin saat ini. Oleh sebab itu, restrukturisasi PBB, khususnya Dewan Keamanan, nampaknya hanya mungkin, artinya kelima negara anggota tetap, khususnya AS yang kini merupakan negara super tunggal, tidak dapat menolak dan terpaksa menyetujui jika dihadapkan pada tatangan dunia yang berubah. Perubahan itu harus berarti ditinggalkannya sistem monopolar yang sekarang berlangsung, yang dapat diduga kuat memang tidak dikehendaki juga oleh negara-negara besar lainnya kecuali mungkin sekutu-sekutunya, sedang Rusia dan RRC tidak berada dalam posisi untuk menentang atau melawannya, kearah sistem multipolar yang berimbang.
Tetapi umumnya sudah menjadi salah satu sifat hubungan antar negara sepanjang sejarah, khususnya antar neggara-negara besar, bahwa peningkatan kekuatan satu negara cenderung mendorong yang lain untuk mengejar dan menyamai, menandingi atau mengimbanginya. Sebab itu perubahan tatanan dunia tidak dapat dan tidak perlu direkayasa apalagi dipaksakan oleh siapa pun. Ini akan merupakan proses yang wajar, meskipun mungkin sekali akan memakan waktu panjang. Bagaimana pun, jika benar PBB merupakan cermin wajah tatanan dunia yang ada, kita hanya dapat melihat perubahan pada apa yang kita lihat dalam cermin itu jika terjadi perubahan dalam tatanan dunia yang dicerminkannya, bukan karena kita merubah cermin itu sendiri, sedang merubah tatanan dunia berada di luar kemampuan kita.
Sebab itu, meskipun benar bahwa restrukturisasi PBB memerlukan perubahan Piagam secara fundamental, dan itu hanya mungkin jika kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan menyetujuinya, persoalannya bukan semata-mata bersifat yuridis, melainkan terutama bersifat politis. Meskipun jarang diakui, hubungan antar negara selalu dilandasi oleh apa yang dikenal sebagai power politics, dan ditandai oleh balance of power, kalaupun pengertian-pengertian yang kompleks dan beragam dari peristilahan itu tidak mudah didefinisikan dan mudah disalah-mengerti. Balance of power dapat mengacu pada suatu sistem, situasi, atau policy, bisa dalam bidang militer atau non-militer. Dalam hubungan ini saya menunjuk pada perimbangan kekuatan sebagai sistem, yang setelah akhir Perang Dingin saya duga (dan saya harapkan) akan berkembang dalam mana tiada satu negara besar pun menduduki posisi yang dominan. Lebih penting lagi, dalam sistem balance of power, saya menerima prinsip bahwa negara besar memiliki kewajiban-kewajiban tertentu (atas perdamaian), tetapi pada saat yang sama juga menikmati hak-hak (privileges) tertentu, seperti misalnya hak veto dalam organisasi PBB.
Restrukturisasi & Demokratisasi
Atas dasar bahasan di atas, sepanjang restrukturisasi menyangkut Dewan Keamanan PBB, yang pada dasarnya merupakan persoalan politik, dan bukannya semata-mata yuridis, tuntutan demokratisasi sebenarnya tidak relevan.Yang dipertaruhkan dalam masalah resrukturisasi Dewan Keamanan adalah perdamaian, sekurang-kurangnya dalam pengertian PBB seperti tercantum dalam Piagam sebagai tujuan dibentuknya organisasi dunia itu, yang berarti nasib dunia dan umat manusia, bukan semata-mata pemerataan hak suara.
Sebenarnya agak ironis bahwa sementara negara-negara berkembang menuntut demokratisasi pada tingkat internasional, banyak dari negara-negara itu pada tingkat nasional, yaitu di dalam negeri mereka sendiri, mereka tidak kelihatan bersungguh-sungguh melaksanakan demokratisasi. Sementara itu harus diingat bahwa keanggotaan PBB terdiri atas negara-negara bangsa yang merdeka dan berdaulat, dan didasarkan pada persamaan status negara-negara anggota, terlepas dari besar wilayah dan jumlah penduduknya. Kecuali dalam Dewan Keamanan dengan sistem vetonya bagi kelima negara anggota tetap, setiap negara mempunyai hak suara sama, terutama dalam Sidang Umum.
Negara-negara kecil dan negara-negara berkembang tidak pernah mempersoalkan ini, karena mereka berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibanding dengan negara-negara besar dan maju, seakan-akan memang sudah seharusnya demikian (taken for granted). Tetapi jika PBB dianggap mewakili dunia dan umat manusia, jadi juga menyuarakan hati nurani umat manusia, benarkah dari segi demokrasi, negara yang sangat kecil baik dari segi wilayah maupun terutama dari segi jumlah penduduk, mempunyai suara yang sama (satu suara), dengan negara yang besar wilayah maupun jumlah penduduknya? Ini khususnya berlaku dalam Sidang Umum yang tidak mengenal hak veto.
Tambahan pula, benarkah dari segi keadilan atau demokrasi, bahwa banyak di antara negara-negara yang menuntut demokratisasi dan peranan lebih besar dalam pengambilan keputusan di PBB, hanya memberikan sumbangan yang relatif sangat kecil pada anggaran organisasi internasional itu? Bagaimana menentukan perimbangan antara hak, kewajiban, dan kemampuan negara-negara anggota PBB? Jelas, bahwa tuntutan revitalisasi, restrukturisasi, dan demokratisasi merupakan persoalan yang rumit dan kompleks. Sebab itu, suatu studi yang cermat dan mendalam masih akan diperlukan, yang perlu memperhitungkan berbagai kemungkinan implikasinya secara luas.
Tertarik Bisnis Forex Online? klik dan baca artikelnya disini :
Mengenal Forex Trading dan Investasi Perdagangan Mata Uang