Setop Heboh Mafia Migas, Ini Kunci Kebut Bangun Kilang RI!

Share:

Presiden Joko Widodo dalam beberapa bulan terakhir sering melontarkan kekecewaan (bahkan amarah) soal pembangunan kilang yang sangat lambat. Menurutnya, sudah hampir 30 tahun RI tak bangun kilang.

Ia pun bertanya-tanya apa biang kerok di balik lambatnya pembangunan infrastuktur ini?

Salah satu yang jadi sorotannya adalah mafia migas. Ia bahkan meminta Kapolri, Kejaksaan dan KPK untuk memantau perkembangan pembangunan kilang saking kesalnya dengan keberadaan mafia migas yang diduga membuat Indonesia tak lepas dari jeratan impor.

Narasi mafia migas bukanlah barang baru di Indonesia, narasi ini populer diakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan melibatkan unit trading migas anak perusahaan Pertamina, Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL).

Pada periode awal pemerintahan Jokowi berdasarkan rekomendasi dari tim Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang digawangi oleh Faisal Basri, dan data dari auditor independen KordaMentha, Presiden Jokowi memutuskan untuk membekukan Petral pada 2015.

Ternyata isu mafia migas tak selesai sampai di situ, akhir-akhir ini narasi itu marak dibicarakan karena dianggap menjadi penyebab utama proyek infrastuktur migas yang tertunda salah satunya adalah proyek kilang, baik itu proyek Refinery Development Masterplan Projects (RDMP) atau peningkatan kapasitas kilang maupun Grass Root Refinery (GRR) atau pembangunan kilang baru.

Tentu narasi mafia migas bukanlah isapan jempol beberapa praktek pengambilan keuntungan berlebih sudah bicarakan dalam laporan Faisal Basri Cs . Sayangnya, dominasi narasi itu terhadap lambannya proyek kilang telah mengaburkan faktor lain yaitu nilai ekonomis dan persepsi investor mengenai proyek kilang RDMP yang tengah dikebut Indonesia.

Tulisan ini membahas tiga faktor yang menjadi perhatian investor dalam menilai ke-ekonomian proyek kilang di Indonesia.

Pertama, integrasi kilang dengan industri petrokimia dan infrastuktur logistik, kedua mitra dalam hal teknis dan supplai minyak mentah, dan terakhir narasi politik Pertamina yang nantinya akan mempengaruhi kepercayaan investor.

Tiga faktor ini penting untuk dibahas setidaknya karena dua hal, pertama idealnya proyek kilang Pertamina harus memiliki nilai ekonomi yang baik ketimbang dengan dalih proyek strategis seakan-akan "direstui" untuk beresiko tinggi yang nantinya akan membebani Pertamina lalu negara.

Kedua kita harus melihat isu kilang keluar dari kacamata mafia migas yang semakin hari semakin intangible dan sulit diterka, kita harus fokus ke hal-hal kasatmata agar bisa memberikan rekomendasi yang ditindaklanjuti oleh Pertamina. 

Contoh Malaysia, Integrasi kilang dengan industri petrokimia dan infrastuktur logistik

Pada Februari 2017, Raja Salman bersama rombongan mengunjungi Malaysia, dibulan yang sama delegasi tim Aramco bertemu dengan Petronas untuk membicarakan Pengerang Integrated Petroleum Complex (PIPC), sebuah megaproyek di selatan Johor dengan luas 80 km2 dengan lingkup industri naphtha crackers, industri petrokimia, terminal dan regasifikasi untuk liquefied natural gas (LNG), dan salah satunya adalah Refinery and Petrochemical Integrated Development (RAPID) berkapasitas 300.000bpd dimana Saudi Aramco kemudian berinvestasi melalui joint venture bersama Petronas. Bisnis kilang memiliki margin yang kecil, ada dua hal untuk menambah nilai ekonomis dari bisnis kilang, pertama industri pendukung seperti petrokimia, dan yang kedua efisiensi biaya logistik. Kedua hal itu Aramco temukan di proyek PIPC.

Pelajaran dari keberhasilan Petronas menggaet Aramco adalah kemampuan Petronas dalam mengintegrasikan bisnis kilang, petrokimia dan penunjang logistik dalam satu paket investasi. Aramco tidak akan tertarik dengan bisnis kilang saja atau petriokimia saja, mereka menemukan nilai ekonomi dengan mengintegrasikan keduanya, dan juga biaya logistik yang efisien sangatlah penting didalam bisnis industri berat, ini termasuk penyedian alat berat, akses jalan, pelabuhan, desain pabrik, dan tentu saja pembebasan lahan. 

Foto: Kilang Minyak Cilacap. Kilang Cilacap merupakan kilang minyak terbesar di Indonesia dengan kapasitas mencapai 348 ribu barel/hari atau 33,4% dari total kapasitas kilang nasional. (CNBC Indonesia/Gustidha Budiarti)
Harus Pintar Berburu Partner & Jangan Bebani BUMN

Mitra dalam hal teknis dan suplai minyak mentah 

Dalam tujuh tahun terakhir kita melihat Abu Dhabi National Oil Company, Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation berinvestasi di proyek kilang/petrokimia di Asia. Alasan politik bagi negara Timur Tengah dan pengekspor minyak mentah adalah invetasi itu untuk mengamankan ekspor minyak mentah di pasar domestik atau regional tempat mereka berinvestasi. Alasan politik itu juga diterima oleh negara seperti India, China, Vietnam dan Malaysia yang sadar bahwa mereka memerlukan asupan minyak mentah untuk menjalankan kilang. Alasan lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan teknis, harus diakui perusahaan seperti Aramco memiliki pengalaman teknis dalam mengelola kilang dan juga petrokimia.

Sementara produksi minyak mentah Indonesia terus merosot, tentu saja minyak mentah bisa dibeli dipasar global dengan mudah. Tetapi ditengah ketidakpastian global dan ongkos logistik yang tinggi suplai minyak mentah yang berkelanjutan menjadi faktor penting di industri kilang yang bermarjin tipis. Lebih lagi kilang minyak Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan milliaran rupiah. Bagi Pertamina, mencari mitra untuk mengurangi resiko teknis dan menjaga suplai minyak mentah dengan harga yang ekonomis adalah pilihan strategis. Mendapat mitra yang ideal bisa membuat bisnis kilang Pertamina lebih menarik buat investor, dan mengurangi resiko keuangan.

Singapura adalah contoh yang ideal dalam memanfaatkan mitra untuk menyuplai minyak dan rekanan teknis. Tiga kilang di Singapura sebagian besar minyak mentah dipasok atau impornya dimediasi oleh mitra mereka. Kilang Jurong dikelola oleh ExxonMobil memproduksi 592.000bpd, sementara kilang Pulau Bukom yang bekerjasama dengan Shell memproduksi 458.000bpd, dan Singapore Refining Corporation juga di Jurong dengan kapasitas 285.000bpd bekerjasama dengan Chevron dan PetroChina. 

Narasi politik yang produktif untuk Pertamina

Tidak ada satupun BUMN Migas atau National Oil Company (NOC) yang tidak dipolitisasi atau terbebas dari skandal korupsi. Petrobas, Petronas bahkan Aramco memiliki sejarah skandal, dan sampai hari ini masih berkubang dengan politik negaranya masing-masing. Tetapi, setiap negara itu mengedepankan narasi politik mengenai transparansi administratif dan efisiensi produksi untuk mereformasi NOC mereka, sementara di Indonesia narasi politik untuk Pertamina adalah berantas mafia migas!

Sebagai badan usaha milik negara Pertamina memiliki dua fungsi, pelayanan publik dan fungsi komersial. Memang betul Pertamina acap kali dikritik baik oleh publik atau pemerintah, tetapi akar permasalahannya setidaknya ada pada dua hal yaitu transparansi administratif dan pengembangan kemampuan teknis. Transparansi administratif sangatlah penting bukan hanya untuk menghindari korupsi tetapi juga membuat Pertamina lebih independen, karena ketika publik bisa mengakses informasi perusahaan maka Pertamina lebih leluasa menghindar dari kepentingan politik atau kelompok tertentu.

Kemampuan teknis adalah hal lain yang perlu diperbaiki oleh Pertamina, kita harus mengakui bahwa kilang kita belum dikelola dengan standard internasional, contohnya kilang Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan, ini adalah masalah teknis yang kompleks dan belum tentu atau sama sekali tidak melibatkan mafia migas.

Narasi mafia migas setidaknya menimbulkan dua efek negatif bagi Pertamina, pertama ini akan menimbulkan kekhawatiran dikalangan pegawai Pertamina yang merasa perlu ada waktu tambahan untuk perhitungan ekonomi yang lebih dalam untuk membangun kilang, mereka takut dituduh sebagai antek mafia migas. Kedua, investor melihat narasi mafia migas sebagai masalah yang sulit diselesaikan, sementara masalah yang lebih lebih tehnis diacuhkan, ini bakal mengurangi tingkat kepercayaan investor untuk bekerjasama dengan Pertamina.

Banyak masalah didalam Pertamina yang bukan disebabkan oleh mafia migas, dan mafia migas bisa diselesaikan atau setidaknya menjadi lebih jelas dengan transparansi administratif dan pengembangan kapasitas teknis untuk mendukung efisiensi produksi.

Masa Depan Kilang Indonesia

Memang betul bahwa proyek kilang adalah proyek strategis nasional tetapi walaupun itu proyek strategis faktor ekonomi tidak bisa diacuhkan karena kalau hitungan ekonomis terlalu jauh atau bahkan merugikan negara, maka proyek itu bakal menjadi beban nasional dimasa depan. Sampai hari ini, belum ada kesepakatan mengenai nilai ekonomi atau berapa besar subsidi yang harus ditanggung Pertamina dan negara untuk proyek kilang RDMP.

Tentu saja Indonesia harus membangun kilang sendiri, dan artikel ini menyepakati itu. Dan hitungan ekonomi dan strategi malah membantu Pertamina untuk menemukan skema yang ideal, misalnya dari lima rencana pengembangan kilang mana yang harus dikedepankan dan yang paling mungkin dilakukan secara ekonomi. Sehingga proyek kilang RDMP menjadi lebih ekonomis dan bukan beban Pertamina dimasa depan. 

Opini ini telah tayang di CNBCIndonesia.com
Judul :  Setop Heboh Mafia Migas, Ini Kunci Kebut Bangun Kilang RI!
Photo utama : Pemadaman api yang terjadi di area jalur pipa Kilang RU V Balikpapan (dok Pertamina)


Forexmart