MILITER DITENGAH KEMELUT POLITIK

Share:
Oleh : Yuddy Chrisnandi
 Dosen Universitas Nasional, Jakarta

Sekalipun Militer Indonesia saat ini memilih sikap low-profile dan tampaknya tidak melibatkan diri dalam percaturan politik nasional, bukan berarti mereka tidak mencermati setiap perkembangan situasi. Militer yang dalam sejarahnya senantiasa bersentuhan dengan realitas politik suatu pemerintahan, tidak dapat dengan mudah menanggalkannya. Apalagi mereka yang sepanjang karir kemiliterannya, telah menempatkan politik sebagai bagian dari pengabdian tugasnya.

Di beberapa negara yang memiliki tradisi pemerintahan militer, seperti Indonesia, hubungan antara militer sebagai institusi atau perwira militer an-sich sangat erat kaitannya dengan konflik dan dinamika politik bangsa. Militer terlanjur terbiasa berada dalam aktivitas urusan sipil, seperti pemerintahan dan kelembagaan politik. Kondisi ini menempatkan militer berperanan penting terhadap kebijakan dan keputusan politik. Konsekuensi peran militer seperti itu, adalah kemahiran militer dalam berpolitik, sebagai tambahan pengetahuan diluar bidang kemiliteran.

Bagi militer , berpolitik dan konflik merupakan sesuatu yang tidak boleh terjadi secara internal. Namun secara eksternal, keterlibatan militer dalam urusan sipil memunculkan persoalan politik dan konflik yang tidak terhindarkan. Dengan demikian, salah satu keunggulan militer dari masyarakat pada umumnya adalah ekslusifitas dan kemampuan intervensi-nya.. Melalui keunggulan tersebut, militer memiliki etika koprs yang secara otomatis menutup arus informasi ke pihak diluar militer, sekaligus menyerap informasi bagi kepentingan militer, dan mengimplementasikannya secara tepat dan cermat dalam bentuk intervensi politik, baik langsung atau tidak langsung.

Profesionalisme militer bagi mereka, dipandang sebagai sesuatu yang sudah melekat pada dirinya. Hal itu telah dibuktikan melalui pengorbanannya menjaga keamanan, ketertiban dan kedaulatan negara.Kemampuan menata disiplin organisasi, kaderisasi kepemimpinan melalui jenjang pendidikan karir dan kemahiran menggunakan persenjataan, dianggap sebagian kecil bukti yang mereka miliki. Pada akhirnya self-perception para perwira militer mengatakan bahwa profesionalisme, bukan masalah. Justeru yang lebih menarik perhatian mereka adalah persoalan diluar urusan profesionalisme, yaitu politik.

Di negara - negara dengan tradisi rezim militer seperti Indonesia, pada kondisi tertentu militer menghadapi kemelut politik sebagai konsekuensi gugatan masyarakat sipil atas kekuasaannya. Sekalipun pada awalnya militer berhasil mendominasi pemerintahan, keberhasilan dan kegagalan membangun negara mendorong munculnya kesadaran masyarakat akan bahaya pretorianisme yang anti-demokrasi. Kemelut politik, biasanya mendorong militer mengakui munculnya kekuatan sipil untuk memimpin tampuk pemerintahan dengan dukungan rakyat. Mundurnya militer dari kekuasaan, seperti yang dialami oleh pemerintahan militer Argentina 1950 - 1975 (rezim Juan Peron) atau Brazil 1950-1964 (rezim Guelart), bahkan Indonesia 1967-1998(rezim Soeharto), dan sederet lainnya, diikuti oleh proses peralihan kekuasaan sipil yang lebih demokratis. Dalam kondisi bangsa yang kritis dan terpuruk, mundurnya militer dari pemerintahan merupakan langkah konsolidasi internal dan upaya memperbaiki citranya.

Berbagai penelitian tentang perilaku pretorianisme yang dilakukan terhadap negara-negara Amerika latin dan Timur tengah, seperti diungkap Eric A. Nordlinger, membuktikan bahwa kembalinya militer ke barak, pada situasi negara yang labil, hanya menunda waktu pengambilalihan kekuasaan kembali. Hal ini juga diperkuat oleh bukti-bukti empirik dari penelitian Guilermo O'Donnel yang mengamati proses transisi menuju demokrasi di wilayah Amerika latin dan Eropa selatan. Mereka mencatat, semangat elit sipil menguasai pemerintahan yang tidak dibarengi dengan visi persatuan nasional, dan belum melekatnya tradisi berdemokrasi , hanya mengakibatkan pertikaian dan perebutan kekuasaan antar elit ke jurang perpecahan bangsa. Mentalitas para pemimpin sipil yang rendah, korup dan anti-kritik, mendorong suburnya gerakan oposisi penentangan terhadap kekuasaan. Kemelut politik tidak dapat dihindari. Pada situasi seperti itu, masing-masing pihak yang terlibat konflik akan berpaling kembali kepada militer, untuk mendapatkan dukungan.

Bagaimana sikap militer?

Militer merasa lebih unggul dari kalangan sipil. Urusan-urusan sipil yang dipahami militer, jauh lebih banyak dari pemahaman sipil atas militer. Dalam diri militer, mereka meyakini telah mewakili keragaman bangsa dan merekalah pilar persatuan nasional. Keberadaannya yang berasal dari rakyat, menganggap dirinya lebih mampu menyerap keinginan rakyat. Pengalamannya di bidang politik merupakan modal untuk terjun kembali menangani urusan-urusan publik. Displin dan struktur komando yang dimilikinya jauh lebih solid dan efektif untuk melaksanakan misi tertentu, dibandingkan kalangan sipil. Ajakan kelompok sipil untuk berkoalisi dalam kekuasaan atau beroposisi, tampaknya tidak menggiurkan militer. Militer memiliki pertimbangannya sendiri dalam menilai keadaan, yang tidak mudah diketahui. Tidak seperti kalangan sipil yang segalanya serba telanjang, militer memiliki kode etik dan sistem yang tertutup.

Bagi militer Indonesia, doktrin sapta marga dan sumpah prajurit, merupakan landasan pengabdiannya kepada bangsa. Dengan doktrin itulah mereka menganggap berkuasa sebagai bentuk pengabdian.Menghadapi kemelut politik yang semakin memanas antar elit politik, telah menempatkan militer lebih diperhitungkan. Bila kemelut berkepanjangan dan semakin memperburuk keadaan rakyat, maka semakin sedikit pilihan bagi militer. Dan bila sampai pada keyakinan to save the nation maka tinggal dua pilihannya, berkuasa atau menguasai. Yang pertama artinya mereka merasa tidak ada satu elit sipil-pun yang mampu mengemban misi nasional, dan yang kedua artinya mereka merasa yakin kepentingannya terwakili oleh yang mereka dukung. Pertanyaannya adalah apa yang mereka rasakan saat ini? Hanya dengan cara berpikir militerlah kita menemukan jawabannya.

*)Penulis adalah Dosen Universitas Nasional dan Universitas Trisakti, Jakarta. 
Mhs.S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia, Angg.Forum Democratic
Leaders-Asia Pacific, mantan angg.MPR-RI.


Dikutip dari : Dephan