SIKAP POLITIK PARA TENTARA

Share:
Oleh : Yuddy Chrisnandi
Dosen Universitas Nasional,Jakarta

Peristiwa pengepungan Istana tanggal 17 Oktober 1952 oleh Angkatan Darat dibawah pimpinan AH Nasution, seolah segar kembali dalam ingatan kita. Pasalnya adalah Presiden Wahid, yang berulang-ulang mengulas peristiwa itu di berbagai kesempatan. Alasannya cukup jelas, sebagai warning pada Militer bahwa ia tidak takut sejarah akan berulang. Presiden Wahid berujar bahwa BungKarno tidak gentar menghadapi ancaman tentara begitupun dirinya. Pesan yang ingin disampaikan oleh Presiden dalam gaya bahasa yang menantang sebenarnya sangat sederhana. Presiden Wahid tidak ingin mundur atau mengundurkan diri dari jabatannya sebelum tahun 2004, apapun resikonya.

Hal yang melatarbelakangi diungkapnya sejarah perlawanan tentara pada pemerintah adalah agenda pelaksanaan Sidang Istimewa MPR yang segera akan dilaksanakan. Dimaklumi bahwa Presiden dianggap melanggar ketetapan MPR tentang KKN yang berbuntut pada dikeluarkannya memorandum pertama dan kedua. Dalam situasi kritis dan kemelut politik yang berlangsung, Presiden Wahid tidak berhasil mendapatkan simpati kekuatan-kekuatan politik besar yang ada. Hal itulah yang menyebabkan buntunya kompromi politik yang ditawarkan dan semakin pudarnya popularitas pemerintahan Presiden Wahid menjelang dilaksanakannya Sidang Istimewa.

Banyak pihak menyayangkan sikap Presiden Wahid yang keras kepala. Seandainya saja ia segera melakukan langkah kompromi setelah keluarnya memorandum pertama, mungkin tidak sepanik hari ini. Ancaman terhadap kedudukan Presiden saat ini lebih diakibatkan oleh perilaku politik Presiden sendiri yang arogan. Sehingga, para elit politik yang berseberangan dengannya, berketetapan hati untuk menghentikan kekuasaannya. Hal inilah yang membuat Presiden Wahid sangat gusar.

Manuver politik yang dilakukan dengan mengkonsolidasikan kekuatan pendukung dan membidik lawan-lawan politik lewat jerat hukum, belum juga mampu mengembalikan kekuatan dukungan pada Presiden. Terlebih lagi, Tentara sebagai senjata pamungkas pelanggeng kekuasaan tidak lagi dapat diandalkan. Cara-cara politik kekerasan tidak dapat dilakukan tanpa dukungan tentara. Presiden Wahid tidak saja semakin gusar, tetapi murka pada mereka yang tidak mengindahkan kehendaknya. Tentara adalah harapannya yang terakhir bila semua jalan kompromi telah buntu. Namun tentara telah mengecewakannya, setidaknya hingga hari ini, sehingga Presiden harus menanti hari-hari selanjutnya yang mendebarkan.

Politisasi Tentara

Tentara yang dalam tradisi ke-militeran Indonesia akrab dengan kehidupan politik, sejak reformasi 21 Mei 1998, secara bertahap telah meninggalkan gelanggang politik. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie itulah, peran tentara kembali pada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan paradigma barunya. Sejak saat itu, seiring dengan berbagai hujatan yang ditujukan kepadanya, Tentara melakukan pembenahan diri dan mereposisi kembali perannya ditengah kehidupan sosial politik. Kepolisian RI yang merupakan bagian dari ke-militeran Indonesia, lepas secara mandiri dibawah Departemen Pertahanan yang kemudian dibawahi langsung Presiden. Tidak ada lagi Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan sipil yang menyandang pangkat kemiliteran aktif. Kedua hal tersebut adalah sebagain bukti kesungguhan Tentara meninggalkan gelanggang politik.
Tuntutan masyarakat agar Tentara menjadi lebih profesional, tidak sebanding dengan kemampuan Tentara memfasilitasi kepentingannya. Namun dapat kita saksikan, dengan keterbatasan yang dimilikinya, dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, Tentara berhasil mengkonsolidasikan diri dan mengembalikan jati dirinya sebagai prajurit profesional. Hal ini dapat dilihat dari pola pengembangan karir kemiliteran yang dibangun, pengembangan materi serta kurikulum latihan kemiliteran dan fokus tugas terhadap sistem pertahanan nasional, dimana tidak terlibat lagi dalam day to day politics.

Sikap profesionalisme Tentara seperti inilah yang secara ideal dikehendaki masyarakat berbagai Negara yang demokratis. Di alam yang demokratis, keberadaan tentara dibawah supremasi pemerintahan sipil. Tentara dalam sistem konstitusi negara manapun adalah alat Negara dengan tugas utama mempertahankan kedaulatan Nasional. Sekalipun tunduk kepada pemerintahan sipil, tidak serta merta menjadi alat kekuasaan pemerintah. Karena sifatnya sebagai alat, ia akan digunakan pada waktu dan kepentingan yang sesuai. Sebagai institusi, Tentara dilarang masuk wilayah politik publik, begitupun tidak boleh ditarik masuk arena politik. Dengan demikian, didalam Negara yang demokratis, peran dan kedudukan Tentara dihargai secara terhormat sebagaimana kedudukan lainnya.

Sayangnya, operasionalisasi konsep diatas, dilakukan secara ambivalen oleh para politisi sipil kita. Para tokoh puncak partai-parati politik, tidak terkecuali Presiden Wahid, menempatkan tentara sebagai subordinasi kepentingan politik. Akibatnya, terjadi tarik ulur untuk mendapatkan pengaruh dan dukungan tentara terhadap langkah-langkah politik masing-masing. Dipertahankannya kedudukan Tentara yang terdiri dari perwira TNI dan Polri di lembaga Legislatif hingga tahun 2009, melalui Tap MPR adalah sedikit bukti ketidak konsisten-an dalam memposisikan tentara. Lebih dari itu, pelibatan tentara dalam urusan politik kepentingan partai-partai melalui lobby maupun komunikasi tertutup, adalah bukti lain untuk mendapatkan dukungan politik tentara. Lebih vulgar lagi, upaya Presiden Wahid mengintervensi institusi tentara untuk melakukan perubahan internal, dapat dimaknai memperalat tentara bagi kepentingan politik kekuasaan.

Isue dekrit Presiden yang santer menjelang sidang paripurna DPR 30 Mei lalu, berujung pada sikap tentara yang defensif. Sebagai penggantinya, keluarlah Maklumat Presiden pada tanggal 28 Mei 2001, sebagai Dekrit terselubung yang gagal dijalankan oleh penerimanya. Akibat kegagalan tersebut, Menkopolsoskam yang juga seorang tentara, harus rela diganti kedudukannya. Kekecewaan Presiden terhadap tentara, tidak mampu menembus barikade soliditas korps tentara terhadap berbagai upaya intervensi terhadapnya. Niat Presiden untuk mengganti sejumlah pimpinan TNI, kandas oleh mekanisme internal institusi TNI yang solid. Namun demikian, hal itu belum menyadarkan Presiden Wahid akan kekeliruannya untuk melibatkan tentara sebagai alat politik. Kita masih merasakan, begitu uletnya Presiden Wahid dan beberapa pembantunya melakukan lobby sekaligus orientasi kedalam tubuh Tentara. Tawaran Presiden kepada beberapa petinggi Tentara untuk menerima jabatan tinggi, tampaknya tidak menggiurkan mereka. Tetapi hingga kapan resistensi profesional seperti ini mampu dipertahankan , kalau setiap saat upaya politisasi tentara berlangsung terus.

Tentara Mengawal Demokrasi

Presiden Wahid tampaknya terobsesi oleh peristiwa sejarah yang pernah dialami oleh Presiden Soekarno. Ia menganggap dirinya seolah identik dengan masa kekuasaan Presiden Soekarno dengan situasi serupa. Pada peristiwa 17 Oktober 1952 , sekalipun ada ketidakpuasan dan perlawanan tentara kepada pemerintah, namun tidak semata tertuju pada Presiden Soekarno. Justeru tentara meminta Presiden Soekarno menggunakan kekuasaannya untuk membubarkan parlemen yang telah mengintervensi lembaga ke-militeran. Hanya saja tindakan tersebut dilakukan secara demonstratif dengan mengepung Istana, yang sebenarnya hanya sebagai tekanan psikologis terhadap penggunaan kekuasaan Presiden. Sedangkan peristiwa 5 Juli 1959, dekrit Presiden yang dikeluarkan untuk pembubaran lembaga konstituante, ritul kabinet dan kembali ke UUD'45, merupakan keinginan yang selaras, sehingga mendapat dukungan yang besar dari tentara. Situasi saat itu tentu sangat jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh Presiden Wahid saat ini. Rasanya mustahil melakukan hal yang sama tanpa dukungan Tentara. Kalaupun berhasil , dapat dikatakan sebagai tindakan pengingkaran terhadap demokrasi.

Kursi ke-Presiden-an bagi Presiden Wahid, tampakn sebagai segalanya. Pernyataan Presiden yang tidak akan pernah mundur walau dikepung tentara, tidak akan menghadiri Sidang Istimewa dan hanya akan memberikan pertanggungjawaban pada bulan oktober 2004, adalah personifikasi takut kehilangan kekuasaan. Ketakutan yang berlebihan seperti ini, akan mendorong pemimpin manapun berlaku korup dan otoriter. Perilaku otoriter yang dikhawatirkan sudah ditunjukan dengan mengganti Menkopolsoskam dan meng-non aktifkan Kapolri. Sekalipun masyarakat menilai apa yang dilakukan keduanya dalam menjalankan tugas cukup baik, namun dimata Presiden Wahid dinilai gagal memenuhi harapannya. Banyak pihak menduga bahwa Presiden memiliki hiden agenda dibalik tugas yang diberikan kepada Kapolri dan Menkopolsoskam, menjelang jatuhnya keputusan Sidang Istimewa.

Setelah tentara tidak berhasil dilibatkan dalam kepentingan politik kekuasaan Presiden, maka Polri dilirik untuk hal yang sama. Namun karena fator historis yang melekat, polri yang juga pernah berada pada payung ke-militeran yang sama, bersikap sebagaimana yang ditunjukan tentara. Polri juga menolak dijadikan alat perpanjangan kepentingan politik. Sebagai lembaga, para prajurit kepolisian bertindak proporsional dan tegas mengatasi berbagai tindak kekerasan politik, yang kebetulan banyak dilakukan oleh para pendukung Presiden Wahid. Akibatnya, Presiden Wahid marah dengan meng-non aktifkan Kapolri dengan alasan bertindak sewenang-wenang. Sayangnya, sekalipun berasal dari lembaga ke-militeran yang sama, prajurit Polri tidak setegar prajurit TNI. Akibatnya, intervensi kekuasaan Presiden Wahid mampu memecah soliditas institusi Polri.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut tampak jelas bahwa Presiden Wahid dengan sengaja berupaya menarik tentara ke kancah politik kembali. Hal yang tidak seharusnya dilakukan di era demokrasi. Apapun alasannya, ketidaksertaan tentara mendukung kekuasaan politik Presiden hanya sekedar kebetulan. Tidak ada yang dapat menjamin bila Presidennya bukan Abdurahman Wahid dan Presiden tersebut kuat kedudukannya secara politik, bisa saja tentara tergiur kembali. Dalam hal ini, keberadaan Presiden Wahid yang lemah secara politik memang tidak rasional untuk didukung. Berbeda mungkin kelak bila Megawati, Akbar Tanjung atau Amin Rais yang menjadi Presiden. Dengan dasar kekhawatiran seperti ini, penggunaan kekuatan tentara dalam urusan politik harus diakhiri. Kesadaran untuk membangun masyarakat sipil yang mandiri dengan kekuatan partai-partai politik harus dijadikan ciri demokrasi kita. Cara berpikir yang ambivalen, yang menempatkan tentara sesuai dengan kepentingan subjektif tidak boleh muncul dalam benak para politisi sipil. Hanya dengan itulah kita akan mewujudkan demokrasi yang sejati, bukan atas selera pribadi.

Andai saja kesadaran seperti itu kita miliki, sikap tentara yang terkesan melawan akhir-akhir ini dapat kita mengerti. Pada sisi lain, tentarapun harus bersikap konsisten memposisikan dirinya didepan pemerintah siapapun yang berkuasa. Pernyataan para tentara yang ada di jajaran TNI maupun Polri yang menolak menjadi alat politik, perlu kita dukung bersama. Begitupun penolakan mereka terhadap tindakan pemberlakuan dekrit yang tidak demokratis. Sudah pada tempatnya kita memberikan hormat dan rasa syukur, ditengah peliknya kemelut politik, para tentara tidak memperparah keadaan. Tentunya, sikap tentara yang demikian tidak menggembirakan semua orang, setidaknya mereka yang kurang memahami demokrasi akan menganggap tentara masih berpolitik. Semoga saja tentara dapat terus menjaga konsistensinya mengawal perjalanan bangsa, melalui masa kritis transisi menuju demokrasi. Sekiranya demikian, maka tentara adalah mitra sipil dalam membangun demokrasi. Insya Allah!

*)Penulis adalah juga dosen Univ.Trisakti, Mhs.S-3 Ilmu Politik
Univ.Indonesia, partisipan Forum Democratic Leaders Asia-Pacific, dll.
Jl.Tebet Barat X/21, Jakarta Selatan 12810 ph.62-21-7984164

Sumber Artikel Dari : Dephan