Upaya Obama Soal Palestina Merdeka Masih Retorika

Share:
Oleh : Munawar Saman Makyanie

Jakarta (ANTARA News) - Upaya Presiden AS Barack Obama untuk mewujudkan negara Palestina merdeka yang dilakukan dalam setahun terakhir dinilai masih dalam tatatan retorika.

Penilaian itu tercermin dari jajak pendapat oleh suratkabar berpengaruh di Timur Tengah, Al-Quds, Desember lalu bahwa tingkat kepercayaan rakyat Palestina kepada Obama menyangkut proses perdamaian menurun menjadi 38,2 persen.

Hasil jajak pendapat terbaru itu kontras dengan jajak pendapat serupa sebelumnya oleh Al-Quds menjelang pelantikan Presiden AS Barack Obama pada 20 Januari 2009, yang menunjukkan lebih 60 persen rakyat Palestina menaruh harapan kepada Obama soal kemerdekaan Palestina.

Mengomentari menurunnya tingkat kepercayaan Palestina kepada Obama dalam hasil jajak pendapat itu, pengamat politik Mesir, Gamal Omar dalam kolomnya di suratkabar Al-Siasah (28/12) mengatakan sejauh ini kiprah Obama memang masih dalam tataran retorika.

"Upaya Obama dalam proses perdamaian Israel-Palestina sepanjang tahun 2009 memang masih jalan di tempat, jauh dari harapan karena dihadang arogansi Israel," tulis Omar.

Semula, tingginya tingkat kepercayaan Palestina kepada Obama itu dapat dimaklumi karena sejak memangku jabatan Presiden, ia menetapkan perdamaian di Timur Tengah menjadi prioritas utama, kontras dengan pendahulunya, George W. Bush, yang dikecam keras karena keengganannya menyelesaikan konflik di kawasan itu.

Obama menganggap keterlibatannya dalam penciptaan perdamaian Palestina-Israel sebagai sangat penting untuk memperbaiki citra Amerika di dunia Muslim dan menarik negara-negara Arab moderat ke dalam front persatuan dalam menghadapi apa yang disebut musuh-musuh AS seperti Iran.

Kontak Intensif

Terlepas dari hasil jajak pendapat tersebut, Obama dalam setahun belakangan tampak sudah berusaha keras memperjuangkan dihidupkannya kembali proses perdamaian Palestina-Israel, kendati masih jauh dari harapan.

Keseriusan Obama itu terlihat dari intensitas kontak-kontak segitiga antara pemerintah AS-Israel-Palestina. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, misalnya, telah dua kali berkunjung ke Israel dan Palestina untuk misi perdamaian dalam setahun terakhir.

Selain itu, Obama juga telah delapan kali mengirim utusan khususnya, George Mitchell, ke Timur Tengah dalam misi serupa.

Presiden Obama sendiri telah dua kali bertemu secara terpisah dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Pertengahan September lalu, di sela-sela Sidang Majelin Umum PBB di New York, Presiden Obama secara terpisah bertemu dengan Abbas dan Netanyahu untuk meratakan jalan bagi prose perdamaian.

Pertemuan Obama-Abbas-Netanyahu di New York itu merupakan pertemuan kedua menyusul Obama menjamu mereka, juga secara terpisah, di Gedung Putih pada Mei silam.

Seperti pertemuan sebelumnya, pertemuan di New York ini pun Obama kembali mengumbar janji bawa ia akan terus mendorong Israel, yang mencemaskan Washington dan Palestina dengan penentangannya pada permintaan untuk membekukan semua pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Kepada petinggi Israel dan Palestina itu, Obama menegaskan pihaknya berkeinginan kuat untuk meletakkan landasan kerja guna memulai kembali perundingan, dan menciptakan konteks positif bagi proses pedamaian yang mandeg saat ini.

Pertemuan terpisah Obama-Abbas-Netanyahu di New York itu dilakukan setelah utusan AS, George Mitchell, baru saja kembali dengan tangan hampa dalam misi ke Israel dan Palestina.

Dalam misi itu, Mitchell gagal membujuk para pemimpin Israel agar membekukan pembangunan permukiman baru Yahudi di Tepi barat, namun ditolak keras oleh Israel.

Di sisi lain, Presiden Mesir Hosni Mubarak dalam kunjungannya ke AS pada pertengahan Agustus lalu, memperoleh janji dari Obama di Gedung Putih bahwa perundingan perdamaian baru Timur Tengah akan terwujud pada September.

"Di hadapan saya, Tuan Obama mengatakan bahwa dengan penuh harapan cetak biru perdamaian akan segera terwujud," kata jurubicara Mubarak, Soliman Awaad.

Pernyataan senada sebelumnya disampaikan Obama ketika ia berkunjung ke Kairo pada Juni silam bahwa rencana perdamaian Timur Tengah akan siap dalam waktu dekat.

"Saya datang ke Kairo untuk mengupayakan satu permulaan baru bagi perdamaian Timur Tengah dan menjembatani antara Amerika dan umat Islam di seluruh dunia," ujarnya di hadapan akademisi, mahasiswa dan berbagai kalangan di negeri Piramida itu.

Pidato Obama di Universitas Kairo itu ditujukan kepada 1,5 miliar Muslim di dunia lewat jaringan televisi, laman-laman internet dan jaringan sosial, di samping media massa cetak.

Kendala

Analis politik Palestina, Khaled Amayreh di harian berpengaruh Mesir, Al-Ahram, pekan lalu menilai, upaya Obama untuk menjembatani jurang pemisah perbedaan antara Israel dan Palestina terkendala oleh permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Gedung Putih pada pekan lalu menyatakan penentangannya atas pembangunan permukiman baru Yahudi di Jerusalem Timur, tanah Arab yang dicaplok Zionis Israel.

"Israel tidak sepatutnya mendirikan permukiman baru di Jerusalem Timur karena status Jerusalem masih harus dipecahkan oleh pihak-pihak terkait melalui pembicaraan atas dukungan internasional," kata jurubicara Gedung Putih, Robert Gibbs.

Gibbs mengeluarkan pernyataan itu menyusul laporan terbaru bahwa Israel telah mengundang tender bagi pembangunan ratusan rumah baru di permukiman Yahudi di Jerusalem Timur.

Kendadi demikian, beberapa pengamat Arab menyayangkan pidato Obama di sidang Majelis Umum PBB pada September lalu, yang sama sekali tidak menyinggung persoalan permukiman baru Israel di Jerusalem Timur, yang menjadikan proses perdamaian mengalami jalan buntu.

"Tidak disinggungnya masalah permukiman Yahudi dalam pidato Obama di Majelis Umum PBB itu menunjukkan pemerintahan AS masih berstandar ganda soal perdamaian," tulis analis politik Emad Rashad di suratkabar Al-Hayat.

Di depan sidang Majelis Umum PBB itu Obama hanya mengumbar janji untuk mewujudkan negara Palestina berdaulat.

"Saya orang yang sangat percaya dengan solusi dua negara kendati masih ada perbedaan-perbedaan," kata Obama tanpa menyentuh persoalan permukiman Yahudi, dan menyatakan keyakinannya bahwa "saatnya telah tiba untuk mengadakan kembali perundingan "tanpa syarat".

Pernyataan Obama itu dinilai sebagai suatu pengakuan diam-diam yang mungkin ia tak menjamin akan terjadi pembekuan permukiman baru Yahudi di Tepi Barat termasuk di Jerusalem Timur, yang selama ini menjadi kendala terbesar bagi upaya proses perdamaian.

Permukiman baru Jerusalem Timur telah menampung sekitar 200.000 pemukim Yahudi, sehingga mengimbangi 270.000 penduduk Palestina di sana.

Perluasan permukiman Israel yang berlanjut itu dikecam masyarakat internasional karena menjadi salah satu rintangan terbesar bagi dimulainya kembali pembicaraan perdamaian dengan Palestina.

Israel merebut Jerusalem Timur dalam perang Timur Tengah 1967 dan kemudian mencaploknya dalam tindakan yang tidak diakui oleh masyarakat internasional.

Israel bersikeras bahwa kota itu seluruhnya adalah ibukotanya yang "abadi, tak dapat dibagi", tapi Palestina juga telah memutuskan akan menjadikan bagian timur kota itu kelak menjadi ibukota negara Palestina merdeka, cita-cita yang didukung Uni Eropa.

Tak Berdaya

Pemerintah Obama di satu sisi ingin berupaya menghidupkan proses perdamaian, tapi di sisi lain tak berdaya menekan pemerintah Netanyahu yang secara angkuh menolak pembekuan semua kegiatan permukiman.

Jurubicara pemerintah Israel Mark Regev menanggapi desakan pembekuan permukiman Yahudi itu dengan terang-terangan mengungkap keinginan Netanyahu untuk membolehkan beberapa tender pembangunan permukiman lagi guna menampung keluarga Yahudi.

Bahkan ketika perbedaan kebijakan menyingkapkan perselisihan AS-Israel -- sesuatu yang jarang terjadi -- masih belum jelas seberapa keras Obama ingin mendorong negara Yahudi itu untuk membuat konsesi baru.

Presiden Abbas sebelumnya menegaskan tidak akan ada perundingan perdamaian dengan Israel bila Israel tidak membekukan permukiman Yahudi, suatu syarat yang ditolak Tel Aviv dan Washington.

Dalam lawatan terbarunya ke Timur Tengah pada akhir Oktober, Menlu Hillary mengatakan Washington masih mengupayakan paket berisi langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama oleh Israel, Palestina dan Arab termasuk pembekuan permukiman.

"Kami tak ingin kesempurnaan jadi musuh kebaikan," ujar Asisten Menteri Luar Negeri AS Jeffrey Feltman dan menambahkan, "Kami tak akan menunggu paket sempurna sebelum kami mulai perundingan."

Hillary mendesak negara-negara Arab menunjukkan isyarat-isyarat tetapi juga memberi Abbas dukungan politik guna memulai kembali perundingan secepatnya.

Pernyataan senada diutarakan Obama ketika berkunjung ke Mesir pada Juni lalu, berjanji akan membuat satu permulaan baru bagi proses perdamaian Arab-Israel.

Pidatonya di Aula Universitas Kairo, yang ditujukan kepada dunia Islam, Obama membangkitkan visi perdamaian Palestina-Israel setelah bertahun-tahun dihantui kecurigaan dan perselisihan.

Obama menegaskan ia telah meletakkan satu cetak biru bagi kebijakan Timur Tengah AS, yang berjanji akan menyingkirkan ketidakpercayaan, mendorong pembentukan negara bagi warga Palestina.

Tapi untuk memutus kebijakan-kebijakan dari pendahulunya, Obama juga memperlihatkan rasa kesalnya atas arogansi Netanyahu untuk menghentikan perluasan permukiman di Tepi Barat.

Alhasil, tekad Obama soal Palestina merdeka masih dalam tataran janji, seperti diungkapkan utusan khusus AS, George Mitchell, pekan lalu, "Masih dibutuhkan lebih banyak waktu untuk mencapai perdamaian menyeluruh Israel-Palestina."

take from : Antara News