Oleh : Jafar M. Sidik
Klaim bahwa Bom Mega Kuningan dilakukan jaringan teroris internasional Alqaeda mungkin ada benarnya, mengingat modus teror 17 Juli itu memang memiliki banyak kemiripan dengan teror-teror serupa sebelumnya, terutama metode serangan berulang yang adalah ciri khas Alqaeda dan kelompok-kelompok teror yang berafiliasi dengannya.
Perhatikan fakta-fakta teror berikut. Tanggal 26 Februari 1993, World Trade Center (WTC) berusaha dirobohkan bom mobil. Gagal. Duabelas tahun setelahnya, 11 September 2001, dua jet Boeing menabrakan diri ke Menara Kembar WTC. Simbol kejayaan ekonomi AS itu runtuh mengubur ribuan nyawa.
September 1997, Kedubes AS di Tanzania menerima teror bom. Setahun kemudian, 7 Agustus 1998, Kedubes AS di Tanzania dan Kenya dihajar truk bom bunuh diri.
3 Januari 2000, perahu cepat penuh bahan peledak gagal menghancurkan kapal perang AS, USS The Sullivans. Sembilan bulan berselang, 12 Oktober 2000, USS Cole ditabrak perahu serupa, di tempat sama, Teluk Aden, Yaman. 19 orang tewas.
Tanggal 12 Oktober 2002, Bali diguncang bom bunuh diri, 202 tewas. Tiga tahun kemudian, 1 Oktober 2005, bom bunuh diri dari kelompok teror sama meletupkan Bom Bali II. 23 orang tewas.
Malam 28 Agustus 2003, London gelap gulita, aliran listrik disabotase. Kemudian, Agustus 2004, rencana membom London, terbongkar. Namun, 7 Juli 2005, tiga stasiun KA bawah tanah diserang bom bunuh diri. 56 tewas.
Mumbai, 11 Juli 2006, bom meneror kota itu. 209 meninggal dunia. Dua tahun kemudian, 26-29 November 2008, Lashkar-e-Thaiba menyerang, memberondong dan membom delapan titik simbol kejayaan dan inklusifme India di Mumbai itu. 173 orang tewas.
Jakarta, 5 Agustus 2003, 11 nyawa melayang oleh bom mobil bunuh diri di Hotel JW Marriott. Enam tahun kemudian, pada 17 Juli 2009, hotel ini dibom kembali, bersama Ritz Carlton. Sembilan orang tewas.
Itu adalah sekian contoh dari puluhan aksi teror yang dilakukan berulang, dari Thailand sampai Filipina, dari Madrid sampai London, dari Ankara sampai Nairobi.
Polanya sama, menyerang banyak titik sekaligus, seperti pada Bom Madrid 2004 dan Serangan 11 September 2001, atau melancarkan teror bom sepanjang tahun, seperti sering melanda Filipina atau Indonesia pada 2000, 2001 dan 2003.
Momentum
Hampir semua teror bom itu dilakukan dengan mempertimbangkan waktu dan momentum, entah pemilu, KTT, kunjungan kenegaraan pemimpin negara besar, perhelatan akbar olah raga atau pertunjukan musik, dan sejenisnya.
Semuanya menghajar simbol dan identitas nasional atau simbol asing di luar negeri, entah gedung perwakilan diplomatik atau perusahaan asing.
Semua redudansi teror itu memberi pesan bahwa teroris sabar menunggu aparat lengah, ketat membaca momentum, terus menerus memperbaiki metode dan taktik, serta paham psikologi, reaksi massa dan simpul syahwat sensasi media massa.
Melihat cara mereka menembus dan mengelabui aparat keamanan, serta memanipulasi media untuk mengumbar panik massa yang malah menguntungkannya, teroris bukanlah kriminal biasa. Meminjam istilah mantan Komandan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Suryadarma Salim, dalam wawancara dengan TV One Selasa pekan ini, "Mereka bukan kelompok taman kanak-kanak."
Mereka tak pernah menyerang tanpa rencana dan tak memilih sasaran tanpa melihat momentum.
"Persiapan serangan teror umumnya berlangsung kurang dari enam bulan sebelum serangan, diawali oleh aksi pengelabuan sehari atau sesaat sebelum serangan," kata Brent Smith, profesor kriminologi pada Universitas Arkansas, dalam "A Look at Terrorist Behavior: How They Prepare, Where They Strike."
Sehari sebelum serangan bom ke Mega Kuningan, kantor KPK yang juga berada di kawasan Kuningan, diancam bom. Tahunya, Marriott dan Ritz Carltonlah yang dibom. Ini mungkin termasuk pengelabuan seperti disebut Brent Smith tadi.
Dan berbeda dari teroris domestik, teroris internasional mempersiapkan aksi lebih panjang. Ilustrasinya, dari sepuluh serangan teror internasional ke AS, persiapan serangan rata-rata memakan waktu tiga bulan.
Jika Bom Mega Kuningan berhubungan dengan "event" internasional, maka "event" itu adalah --mengutip mantan kepala BIN AM Hendropriyono kepada Metro TV pekan lalu-- kedatangan Manchester United.
Kedatangan klub sepakbola terkaya dunia itu sudah diberitakan media sejak Januari 2009 atau lima bulan sebelum tempat dimana MU menginap, Hotel Ritz Carlton, dibom teroris.
Selain tertuju pada MU, mata dunia juga memelototi Pemilu Indonesia 2009 yang disebut banyak kalangan sebagai contoh sukses demokrasi di negara berkembang.
Oleh karena itu, menyerang Indonesia berarti mempermalukan demokrasi seluruh dunia sehingga spektrum pesan teroris lebih luas dari sekedar tekanan nasional.
Hendropriyono, dalam Kompas (24/7), menyebut dunia kecolongan, karena Bom Mega Kuningan menunjukkan jaringan teroris global masih terus beraksi.
Merangkul
Lalu, bagaimana teroris menentukan serangan? John J. Fay, dalam "Encylopedia of Security Management," mengungkapkan teroris mempersiapkan langkah cermat dalam aksi terornya itu.
Pertama, mempelajari momentum atau peristiwa yang cocok untuk melakukan teror, misalnya agenda politik seperti Pemilu dan perhelatan internasional.
Kedua, menentukan tujuan, khususnya merancang aksi yang bisa memancing perhatian dunia dan media massa sehingga dampak teror terekspos selebar-lebarnya.
Ketiga, memilih target, melakukan riset dan pengamatan. Di tahap ini, tujuan teror mempengaruhi target yang dipilih. Misal, jika teroris anti asing, maka turis dan perusahaan asing akan menjadi target serangan.
Keempat, perencanaan serangan, yaitu mempelajari semua hal yang berkaitan dengan pendanaan, intelijen, keamanan, komunikasi, dokumen, peralatan, wahana, senjata, persembunyian, taktik, operasi, dan penyelamatan diri.
Kelima, eksekusi serangan, dilakukan secara hati-hati dengan memerhatikan sejumlah faktor.
Terakhir, evaluasi dampak jangka pendek dan panjang dari serangan teror dengan mempelajari korban serangan, kerusakkan infrastruktur, perhatian media massa, reaksi publik dan pemerintah. Sekali masyarakat dan pemerintah panik sehingga tak berpikir jernih, semakin leluasa teroris-teroris itu melancarkan serangan berikutnya.
Jika melihat tahapan itu, maka tampaknya teroris memperimbangkan semua hal. Mereka, meminjam terminologi Brent Smith, berpikir secara global dan bertindak secara lokal.
Terorisme sendiri, tulis Louise Richardson dalam "What Terrorists Want: Understanding the Enemy, Containing the Threat," adalah kekerasan yang sengaja dilakukan terhadap warga sipil untuk mencapai tujuan politik.
Meski begitu, terorisme tak bisa dilawan oleh reaksi penuh benci dan kemurkaan yang sama seperti teroris. Bahkan, mengutip Louise, retorika "perang melawan terorisme" yang memang emosional pun keliru.
Ketika Mumbai diteror pada 2006, PM India Manmohan Singh yang terkenal lembut, berubah garang dan murka terhadap teroris. Namun teroris tak jera, dua tahun kemudian, simbol masyarakat kosmopolit dan inklusif India itu, diteror lagi. Ini bukti bahwa terorisme bukan kekerasan biasa yang tak bisa didiamkan oleh langkah keras semata.
"Terorisme adalah taktik, makanya tak bisa dikalahkan. Apa yang bisa dikalahkan, setidaknya dicegah, adalah mengurung kelompok-kelompok teror," tulis Louise.
Indonesia telah melakukan upaya seperti disebut Louise, tetapi itu tak dibarengi oleh langkah seperti yang misalnya dilakukan Arab Saudi.
Pemerintah Saudi, ulama, aparat keamanan, pakar dan masyarakatnya merangkul pelaku teror untuk hidup benar, menjauhi militansi dengan memperhatikan penghidupannya dan meyakinkan bahwa visi keagamaan mereka keliru, bahwa agama dan jihad tak ada kaitannya dengan kekerasan terorisme, termasuk bom bunuh diri.
"Para pemuda yang melakukan serangan bunuh diri itu tidak faham Islam atau jihad," kata ulama terkemuka Saudi, Syekh Saleh bin Fauzan al Fauzan, seperti dikutip Daily Times, Pakistan (9/7).
Ulama terkemuka Timur Tengah, Yusuf al Qaradawi, bahkan menyebut serangan terhadap orang tak berdosa adalah dosa besar, seraya mengutip Al-Maidah ayat 32, yang salah satu petikannya berbunyi, "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya."
Akhirnya, karena Bom Mega Kuningan sangat mungkin dilakukan jaringan teroris internasional, maka mutlak menjalin kerjasama internasional, terutama dengan negara maju.
Ini karena sejak 2002, mengutip AM Hendropriyono dalam Kompas (24/7), negara maju sulit berbagi akses informasi intelijen dengan Indonesia. Ironisnya, merekalah yang mengetahui simpul lengkap jaringan teroris internasional.
take from : http://www.antaranews.com